DPR Tantang Aparat Usut Tindak Pidana Baru Djoko Tjandra

Anggota Komisi III DPR tantang aparat usut tindak pidana baru Djoko Tjandra.

Ahad , 26 Jul 2020, 15:33 WIB
Arsul Sani
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III menyoroti potensi tindak pidana baru dalam kasus buron korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra. Aparat hukum diharapkan tak hanya mengusut perkara yang melibatkan sejumlah pejabat tingginya, namun juga pidana-pidana baru yang dilakukan Djoko Tjandra. 

"Kami di Komisi III memang melihat bahwa ada tindak-tindak pidana baru terkait kasus DjokTjan (Joko Tjandra) ini," kata Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani saat dihubungi Republika.co.id Ahad (26/7).

Baca Juga

Tindak pidana baru yang dimaksud, kata Arsul, misalnya menyembunyikan buronan dan membuat atau memasukkan keterangan palsu dalam surat autentik. Komisi III juga menyoroti kemungkinan tindak pidana korupsi apabila ada indikasi suap dalam manuver Djoko Tjandra. 

Komisi III yang membidangi hukum di DPR RI ini akan melihat sejauh mana Polri dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam mengusut secara keseluruhan kasus ini.  "Nah ini kita lihat, sejauh apa Polri dan Kejaksaan akan menangani, termasuk keberanian menetapkan DjokTjan sebagai tersangka baru. Jadi tidak berhenti di Pati (pejabat tinggi) Polri-nya saja," kata Politikus PPP ini. 

Arsul menambahkan, Komisi III akan meminta Polri untuk menunjukkan kapada masyarakat bahwa ketika ada dugaan pidana baru terhadap sosok seperti Djoko Tjandra, maka Polri harus berani mengusut. 

Dalam pelariannya, hingga kini Joko Tjandra belum juga tertangkap. Setelah bermanuver mulai dari mendaftarkan peninjauan kembali (PK), membuat KTP, hingga membuat surat jalan yang melibatkan Jenderal polisi di Bareskrim, Joko belum juga tertangkap. 

Di parlemen, usulan pembuatan panitia khusus (Pansus) agar dapat menggunakan hak angket dalam kasus ini juga muncul. Namun, kata Arsul, Komisi III masih perlu terlebih dahulu rapat dengan aparat hukum terkait. 

Komisi III sejatinya sempat mengajukan rapat dengar pendapat bersama Polri, Kemenkumham dan Kejaksaan Agung. Namun, rapat itu tak kunjung terselenggara lantaran pimpinan DPR Aziz Syamsuddin menolak permohonan rapat itu dengan alasan masa reses.