Ahad 26 Jul 2020 16:47 WIB

Pengamat: Kemendikbud Harus Perkuat Konsep POP

Pendidikan bukan sekadar mengejar inovasi, tetapi berkaitan dengan kemanusiaan.

Rep: Inas Widyanuratikah  / Red: Ratna Puspita
Program Organisasi Penggerak (ilustrasi). Program Organisasi Penggerak (POP) harus memiliki konsep yang kuat.
Foto: republika/kurnia fakhrini
Program Organisasi Penggerak (ilustrasi). Program Organisasi Penggerak (POP) harus memiliki konsep yang kuat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Alazhar Indonesia, Asep Saefuddin, yang juga seorang pengamat pendidikan menilai Program Organisasi Penggerak (POP) harus memiliki konsep yang kuat. Ia beranggapan, ide gotong royong dalam POP hal yang baik, tetapi harus jelas secara holistik. 

Asep mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus memeriksa why atau kenapa, what atau apa, dan how atau bagaimana (2W1H) dari program tersebut. "Di tataran why, Kemendikbud harus mampu mengkaji sampai ke akar-akarnya. Dengan kedalaman, ketajaman dan keluasan analisis, tentunya berdampak pada what dan how," kata Asep, Ahad (26/7). 

Baca Juga

Ia mengasumsikan jika Kemendikbud menjadikan Programme for International Student Assessment (PISA) sebagai indikator. Kemudian, lahirlah POP yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru. 

Program ini, lanjut dia, harus jelas menyasar ke titik-titik yang kurang dalam pendidikan sehingga ranking Indonesia di PISA bisa meningkat. "Ini semua harus jelas. Jangan-jangan kita menggaruk kaki padahal tangan yang gatal," kata dia lagi. 

Selanjutnya, ia membahas mengenai how dari POP. Di dalam hal ini, ia menyinggung soal mundurnya organisasi besar seperti Muhammadiyah, NU, dan PGRI dari program tersebut. Kemunduran organisasi besar ini pasti berhubungan dengan how yang tidak tepat. 

Ia menilai, how yang dimaksudkan salah satunya adalah proses seleksi. "Dari informasi yang ada, terlihat bahwa organisasi besar seperti PGRI, Muhammadiyah, NU dianggap sama dengan organisasi baru lahir. Tentu ini tidak baik," kata Asep menegaskan. 

Lebih lanjut, menurutnya, Kemendikbud harus belajar dari kejadian POP ini. Ia menegaskan pendidikan bukan sekadar mengejar ketertinggalan teknologi dan inovasi, tetapi jauh lebih mendasar dari hak itu. 

Pendidikan, kata dia, intinya berkaitan dengan kemanusiaan, bukan sekadar inovasi, IQ, dan teknologi. Pembenahannya harus dilakukan secara holistik. "Sehingga SDM kita mempunyai daya imajinasi yang tinggi dan berefek pada tumbuhnya inovasi. Juga kolaborasi yang diperlukan agar inovasi itu bermanfaat untuk masyarakat," kata dia lagi. 

Tanpa kajian yang mendalam, tentu akan lahir kebijakan yang tidak matang. Akhirnya akan muncul konsep tanggung yang memunculkan ketidakpuasan. Ia menekankan, Kemendikbud harus mengutamakan kedalaman dan kekuatan konsep. 

"Tanpa itu, perbaikan hanya terjadi di lapisan kulit," kata Asep menegaskan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement