Rabu 29 Jul 2020 04:58 WIB

Syahadah Musthafa, Novel Santri Tentang Sang Kiai Teladan

Syahadah Musthafa merupakan karya santri Pesantren Sukahideng – Sukamanah ini

Syahadah Musthafa merupakan karya santri Pesantren Sukahideng – Sukamanah,  diangkat dari sejarah dan kisah nyata.
Foto: Dok Istimewa
Syahadah Musthafa merupakan karya santri Pesantren Sukahideng – Sukamanah, diangkat dari sejarah dan kisah nyata.

REPUBLIKA.CO.ID,  

Oleh Prof Syihabuddin Qalyubi, santri Sukahideng-Sukamanah, guru besar  Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Baca Juga

 

Syahadah Musthafa, demikian judul novel karya santri Pesantren Sukahideng – Sukamanah ini. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, judul ini menjadi “Kesaksian Orang Terpilih”.

Judul ini menarik, di samping mengisahkan kesyahidan KH Zainal Musthafa, bagi saya judul ini juga bermakna kesaksian orang-orang terpilih dari jejak sejarah, terutama perjuangan para tokoh-tokoh di Tasikmalaya yang menjadi lokus cerita novel ini.  

Karena seorang santri, penulis novel ini dengan lihai menyelipkan kajian-kajian fiqih singkat, menjadi satu “saksi” bahwa pada masa dahulu para kiayi tatar Sunda begitu produktif dan cerdas.

Sebagai misal, dalam novel ini disinggung pendapat KH Muhammad Fakhruddin yang tak mewajibakan kerudung dalam kitabnya Futuhāt , lalu dikritik keras oleh Mama KH Ahmad Sanusi dari Gunung Puyuh dalam kitabnya al-Kalimah al- Mujhikah Liftirāyāt al-Futuhāt.

Jika dahulu ada perdebatan antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dan mereka terpisah jaman sekitar satu abad,  di tatar Sunda terjadi perdebatan yang tak kalah menarik dan ini terjadai pada satu masa. 

“Kesaksian Orang Terpilih” lainnya yang disentuh Fauz Noor, adalah puzzel-puzzel perjuangan para aktivis kemerdekaan semisal dr. Soekardjo, Raden Sutisna Senjaya, Kapten Naseh, dan yang lainnya. Dan sudah barang tentu “kesaksian” yang utama yang kuat dalam novel ini adalah heroiknya perlawanan KH Zinal Musthafa.

Sebagai sebuah novel, tentu saja penulisnya mengangkat tokoh-tokoh imajinatif. Menarik, ketika ia mengangkat tokoh utama Falah, ia ceritakan sebagai santri Pesantren Riyādul Alfiah Garut (Pesantren Sadang) yang hendak nyantri ke Pesantren Sukahideng–Sukamanah.

Fauz tahu benar bahwa pada jaman Jepang, bahkan jauh sebelumnya, telah terjadi jaringan pesantren yang kuat di Jawa Barat. Dan kala itu Pesantren Sukahideng – Sukamanah memang sudah kakoncara (terkenal) sebagai pesantren yang punya fan Bahasa Arab. 

Falah kemudian bertemu dengan santri Sukamanah bernama Syakur, seorang tokoh imajinatif juga. Penulis ciptakan tokoh Syakur sebagai seorang santri asal Banten. M

Mengapa Banten? Nah, ini menarik kembali. Karena selepas pemberontakan Banten 1888, banyak para ulama Banten yang hijrah ke Tasikmalaya. Para ulama Banten ini pula, dalam data-sata sejarah, yang banyak terlibat dalam pemberontakan Afdeling B Cimareme Garut yang menggemparkan mata dunia (selepas pemberontakan Afdeling B, kolonialisme Belanda banyak dicibir dunia internasional, sampai kepercayaan kepada Belanda sebagai “pembimbing” bangsa Hindia menjadi rontok sedikit demi sedikit).

Penulis pun menciptakan tokoh Rahmi, seorang jugun ianfu, pelacur. Karena pada masa Jepang kita semua tahu tumbuh subur para pelacur. Hanya saja, di Tasikmalaya, kasus jugun ianfu relatif hampir tak ada. K

onon, karena kharisma ajengan (kiayi) priangan yang mengakar sampai ke akar rumput, dan sanggup menggerakan soliditas para pemudanya, sehingga Jepang mesti berpikir panjang untuk menciptakan jugun ianfu di Tasikmalaya. Dan melalui tokoh Rahmi, Fauz berkisah tentang Palang Merah Indonesia (PMI), doktor Sukardjo, cerita bioskop pertama di Tasikmalaya, tentang orang Tionghoa di Tasikmalaya, tentang “pembunuhan misterius” sebelum terjadinya pemberontakan Sukamanah. 

Dua bab terakhir adalah inti dari novel ini: Perlawanan Sukamanah dan “Ngawuruk Santri”. Tokoh-tokoh yang dibicarkan adalah tokoh-tokoh historis: Kiayi Najmuddin (komandan pasukan Sukamanah), Kang Hidayat, Kang Enkin Zaenal Muttaqin, Kang Adang (KH Wahab Muhsin), dan yang lainnya. Dengan kekuatan sastra dengan pemilihan diksi yang ketat dan terjaga, kisah Jumat kelabu yang dikenal dengan Sukamanah Bersimbah Darah, terasa begitu haru dan pilu. 

Satu yang utama, dan barangkali ini menjadi pesan terpenting dalam novel ini, yaitu ketika sebelum perang Sukamanah terjadi, Kiai Zaenal Musthafa memerintahkan beberapa santrinya untuk pulang, menyuruh mereka untuk kembali ke rumah dan membangun pesantren.

“Tarekat Sukamanah adalah ngawuruk (ta’lim) santri,” demikian ujar Kiai Zainal Musthafa. Dan ujaran ini sungguh menggetarkan kita semua, bahwa dalam pikuk perang, Kiai Sukamanah masih memikirkan keberlangsung dakwah lil-ummah.

Penulis novel ini Fauz Noor Zaman, lahir di Tasikmalaya, 12 Nov 1979. Pendidikan di SDN Tuguraja 2, MTsN Sukamanah, MAN Sukamanah, S-1 mengambil Pendidikan Fisika UPI, S-2 Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati, S-3 Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati (dalam proeses disertasi).

Pendidikan non-Formal ditempuh di Pesantren Sukahideng Tasikmalaya dan Pesantren al-Inayah Bandung. Sedangkan karya tulisnya antara lain: Novel Filsafat Tapak Sabda (LKiS, 2004), Semesta Sabda (LKiS, 2005), Berpikir seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan (LKiS, 2009), Terapi bersama Nabi (Kumpulan Pisi, Penerbit Mumtaz, 2013), Novel Patung Cinta (Upuk Jakarta, 2016) dan Patung Cahaya (Sabda Book’s, 2018), Marginalia 1: Kumpulan Esai dari Pojok Pesantren (Semesta, 2016), Marginalia 2: Kumpulan Esai dari Pojok Pesantren (Semesta, 2019), Ketika Rasul Bermuka Masam (Lakpesdam PBNU, 2018). 

 

Kata Kunci       : Syahadah, Musthafa, Sukahideng, Sukamanah, Tasikmalaya, Jugun Ianfu.

Judul               : Syahadah Mustafa

Penerbit           : Sabda Book’s

Tebal               : 243 halaman

Ukuran            : 13 x 20 cm

Cetakan          : I, Juli 2020

ISBN              : 9 786239 112653

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement