Jumat 31 Jul 2020 11:56 WIB

Kematian Covid-19 di Surabaya 90 Persen Disertai Komorbid

Sebanyak 714 pasien Covid-19 meninggal di Surabaya disertai penyakit penyerta.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Pekerja menyelesaikan pembuatan peti jenazah COVID-19 di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (30/7/2020). Setiap harinya pekerja tersebut menyelesaikan sedikitnya 10 peti unutk memenuhi pesanan sejumlah rumah sakit yang menangani pasien COVID-19.
Foto: Antara/Zabur Karuru
Pekerja menyelesaikan pembuatan peti jenazah COVID-19 di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (30/7/2020). Setiap harinya pekerja tersebut menyelesaikan sedikitnya 10 peti unutk memenuhi pesanan sejumlah rumah sakit yang menangani pasien COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Timur, Dodo Anondo mengungkapkan, berdasarkan laporan yang diterima dari direktur rumah sakit, sekitar 90 persen pasien Covid-19 yang meninggal di Kota Surabaya disertai komorbid atau penyakit penyerta. Berdasarkan data Dinkes Surabaya, per 28 Juli 2020, ada 754 orang meninggal dunia karena Covid-19. 714 orang di antaranya meninggal disertai penyakit penyerta.

“Yang jelas 90 persen disertai komorbid. Terutama karena kegemukan atau obesitas, diabetes mellitus, dan hipertensi itu yang paling banyak,” kata Dodo di Surabaya, Jumat (30/7).

Baca Juga

Maka dari itu, Dodo berharap masyarakat, utamanya yang memiliki penyakit penyerta agar lebih disiplin lagi dalam menjalankan protokol kesehatan pada kehidupan sehari-hari. Sebab, untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 tak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, namun masyarakatnya juga harus aktif mendukung.

“Makanya orang yang memiliki diabetes itu harus terkontrol obatnya, olahraga, dan makanannya. Namun yang penting itu jaga kondisi tubuhnya. Kadang orang lupa kalau memiliki sakit diabetes itu makanannya tidak terkontrol,” ujar Dodo.

Kepala Dinkes Kota Surabaya, Febria Rachmanita menyatakan, Pemkot Surabaya menaruh perhatian lebih kepada masyarakat yang dinilai rentan tertular Covid-19. Seperti warga yang memiliki penyakit penyerta, ibu hamil, serta lansia. Bahkan, Pemkot melakukan pemantauan ketat bagi mereka yang terbilang rentan tertular virus.

“Upaya kami adalah mendata pasien-pasien rentan dan komorbid. Artinya rentan adalah mulai dari Lansia, ibu hamil ditambah dengan pasien komorbid,” kata Febria.

Bagi warga yang memiliki komorbid seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi (HT), komplikasi DM dan HT, asma, hingga jantung, Pemkot Surabaya melakukan pemantauan ketat melalui Puskesmas. Febria juga menyarankan kepada warga yang memiliki komorbid agar tidak perlu datang langsung ke fasilitas kesehatan untuk membeli obat.

Nah, itu kita data mereka dan menjadi tanggung jawab Puskesmas. Kami sudah koordinasi dengan BPJS untuk bisa menyiapkan obat-obat pasien komorbid,” kata dia.

Sedangkan bagi ibu hamil, mereka juga dipantau dan didampingi oleh tiap-tiap bidang kelurahan (Bikel). Bahkan, sejak pekan pertama kehamilan hingga melahirkan, ibu hamil di Surabaya menjadi tanggung jawab masing-masing Bikel.

“Selain memeriksakan kehamilannya, pada minggu ke-37 ibu hamil itu kita juga melakukan swab, setelah itu menentukan rumah sakit mana yang akan menjadi tempat rujukan oleh Puskesmas,” ujarnya.

Jika hasil swab ibu hamil itu dinyatakan positif Covid-19, selanjutnya dia dirujuk ke rumah sakit khusus penanganan Covid-19. Sementara jika hasil swab negatif, dia kemudian dirujuk ke rumah sakit ibu dan anak.

Pemkot Surabaya juga diakuinya menekankan perubahan perilaku sikap melalui petugas promotor kesehatan dan relawan. Mereka getol terjun ke masyarakat mensosialisasikan disiplin protokol kesehatan, seperti pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak.

“Karena untuk merubah perilaku tidak bisa dilakukan sekali dan nanti bersama kader-kader bumantik. Kita juga lakukan rapid test dan swab massal kepada masyarakat yang memiliki kontak erat dengan pasien dan kelompok rentan itu kita lakukan terus,” kata dia.

Selain itu, pasien Covid-19 yang menjalani rawat jalan atau telah dipulangkan dari rumah sakit juga dilakukan pemantauan oleh Puskesmas. Makanya, Febria mendorong pihak rumah sakit agar aktif melaporkan setiap pasien yang telah pulang melalui sistem aplikasi milik Pemkot Surabaya yang telah tersedia. Berdasarkan laporan di aplikasi tersebut, Puskesmas selanjutnya melakukan pemantauan.

“Di situ (aplikasi) mereka (Puskesmas) bisa membaca pasien-pasien yang dipulangkan rumah sakit. Kalau pasien itu sudah dipulangkan rumah sakit, maka dia menjadi tanggung jawab Puskesmas, mereka di-cek apakah sudah dapat obat, terus bagaimana saturasi oksigennya,” ujarnya.

Bagi pasien yang telah dipulangkan dari Rumah Sakit, Dinkes Surabaya juga memberikan alat berupa pulse oximeter atau alat untuk mengukur saturasi oksigen dalam darah. Pasien yang telah pulang dari RS diajari untuk bisa melihat saturasi masing-masing dan kemudian melaporkan kepada Puskesmas. Apabila saturasinya naik di atas 96 berarti aman.

“Kalau saturasinya tidak naik (kurang dari 94), Puskesmas akan cepat turun. Ada 400 alat saturasi yang sudah kami bagikan, sesuai dengan kebutuhan yang urgen, dan mereka diajari menggunakan. Itu dari sisi promotif preventif,” ujar Febria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement