Senin 10 Aug 2020 14:02 WIB

Kasus Covid di Sekolah dan Kritik Atas Inkonsistensi Pusat

Belasan siswa dan beberapa guru di Kalbar pada hari ini dinyatakan positif Covid-19.

Seorang guru melintas samping aula di SMPN 10 Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (6/8/). Menurut pihak sekolah, SMPN 10 Kota Tegal menghentikan pembelajaran tatap muka hingga waktu yang belum ditentukan dan kembali pembelajaran secara daring, akibat orangtua salahsatu siswa positif Covid-19. (ilustrasi)
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Seorang guru melintas samping aula di SMPN 10 Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (6/8/). Menurut pihak sekolah, SMPN 10 Kota Tegal menghentikan pembelajaran tatap muka hingga waktu yang belum ditentukan dan kembali pembelajaran secara daring, akibat orangtua salahsatu siswa positif Covid-19. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dadang Kurnia

Beberapa daerah belakangan membuktikan, bahwa status zona hijau pun ternyata tak aman dari penularan Covid-19. Setelah muncul kasus di Pariaman, Sumatera Barat, pekan ini provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) mengugumkan belasan siswa dan guru positif Covid-19.

Baca Juga

Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat Harisson mengatakan bahwa sampai Senin (10/8), ada 14 siswa dan delapan guru yang dikonfirmasi tertular Covid-19 di Kalbar. Sebaran kasus ditemukan di beberapa sekolah tingkat SMP dan SMA.

"Dari 604 orang guru dan siswa yang kita tes swab, terdapat delapan orang guru dan 14 orang murid yang terkonfirmasi positif Covid-19 sehingga total guru dan siswa yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 22 orang," kata Harisson di Pontianak, Senin.

 

Harrison menjelaskan, penularan Covid-19 antara lain terjadi di SMA 1 Ketapang, SMA 1 Ngabang, SMA 1 Pontianak, SMPN 1 Pontianak, serta SMAN 2 dan SMAN 3.

"Untuk Sambas di tingkat SMP, ada tiga orang murid terkonfirmasi Covid-19," katanya.

Melalui akun media sosialnya, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mengatakan, pemerintah kembali menangguhkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah karena ada siswa dan guru yang tertular Covid-19.

"Saya mohon maaf kepada masyarakat Kalbar karena kita kembali menunda tatap muka di sekolah sampai dipastikan tak ada guru dan murid yang positif," katanya.

photo
Sejumlah siswa berjalan dengan menerapkan jaga jarak saat simulasi kegiatan belajar di sekolah di SMPN 1 Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (7/8/2020). Simulasi yang dilakukan guru dan pegawai sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan tersebut merupakan salah satu persiapan untuk mengadakan kegiatan belajar tatap muka yang sehat serta bebas COVID-19. - (Antara/Jessica Helena Wuysang)

Akhir pekan lalu, Bupati Sambas, Kalbar, Atbah Romin Suhaili mengumumkan dua pelajar SMPN 1 Sambas terkonfirmasi positif Covid-19 setelah dilakukan tes usap. Sekolah tatap muka pun kembali dihentikan.

"Kabupaten Sambas sebelumnya dalam proses belajar dengan tatap muka karena kita tidak ada kasus. Berhubung belajar tatap muka, kita lakukan tes swab dengan sampel di SMPN 1 Sambas pada 29 Juli 2020. Hasil tes keluar pada 6 Agustus 2020 dan ada dua siswa terkonfirmasi positif Covid-19," ujar Atbah saat dihubungi di Sambas, Jumat (7/8).

Atbah menyebutkan, dengan adanya kasus baru di Kabupaten Sambas yang dialami siswa berumur 14 tahun, maka sekolah di Sambas kembali ditutup. "Dengan kasus yang ada, kami Pemerintah Kabupaten Sambas kembali menunda belajar secara tatap muka di sekolah," katanya.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sambas, Sabhan, mengatakan, adanya tatap muka belajar di sekolah sebelumnya berdasarkan SKB empat menteri dan izin kepala daerah.

"Namun, berdasarkan keputusan Gubernur Kalbar kalau ada sampel positif atau kasus Covid-19, maka tatap muka ditiadakan," jelas dia.

Beberapa daerah mulai Senin (10/8) memulai uji coba atau simulasi pembelajaran tatap muka. Salah satu daerah yang memulai simulasi adalah Kabupaten Belitung Timur, Kepulauan Riau (Kepri).

"Uji coba kita lakukan di lima SMPN di empat kecamatan, ini dilakukan karena Belitung Timur sudah kembali zona hijau penyebaran Covid-19," kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Belitung Timur, Amrizal di Manggar, Senin.

Amrizal menjelaskan, uji coba pembelajaran tatap muka ini mengacu kepada peraturan bersama empat Menteri: Menteri Pendidikan, Agama, Dalam Negeri dan Kesehatan.

"Sebenarnya uji coba kita lakukan Senin (3/8), tetapi karena ada penambahan kasus kita tunda hingga hari ini,” kata Amrizal.

Amrizal menjelaskan, sebanyak lima sekolah, yakni SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 3 Manggar, SMP Negeri 1 Gantung, SMP Negeri 1 Damar serta SMP Negeri 1 Kelapa Kampit akan menjadi model percontohan.

"Sebelum dimulai sekolah yang terpilih wajib menerapkan protokol kesehatan yang sudah dievaluasi dan diuji," ujarnya.

Ia menjelaskan, siswa di sekolah tersebut akan masuk belajar mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 11.00 WIB dengan total enam jam mata pelajaran dalam satu hari.

"Siswa yang mengikuti pelaksanaan pembelajaran tatap muka akan dibagi atau bergiliran. Setiap kelas maksimal hanya boleh terisi 15 orang siswa," ujarnya.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Wahid Wahyudi menyatakan, pohiknua baru berencana melakukan uji coba pembelajaran tatap muka untuk siswa sekolaj jenjang SMA/ SMK dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Uji coba pembelajaran tatap muka tersebut rencananya digelar pada 18 Agustus 2020.

"Uji coba pembelajaran tatap muka akan dilakukan di SMA, SMK dan SLB pada 18 Agustus di masing-masing kota baik sekolah swasta dan negeri sesuai kesiapan sekolah," kata Wahid di Surabaya, Senin (10/8).

Wahid merasa, uji coba pembelajaran tatap muka perlu dilakukan karena banyaknya kendala selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui daring. Kendala yang paling banyak ditemui seperti keterbatasan sarana prasarana di keluarga yang tidak mampu. Di mana masih ditemui keluarga yang kesulitan membeli paket data, atau gawai yang kurang mendukung untuk melakukan pembelajaran jarak jauh.

"Sehingga mereka harus pinjam ponsel ke tetangganya. Ada juga yang punya ponsel satu bapaknya saja, tapi anaknya banyak butuh PJJ," ujar Wahid.

Selain itu PJJ juga kerap terkendala terbatasnya jaringan internet. Tidak semua wilayah di Jatim, terjangkau jaringan internet yang memadai.

Kendala lain yang ditemui adalah di beberapa daerah, sumber daya manusia (SDM) terbatas dalam kemampuan memakai teknologi. Pertimbangan lainnya adalah siswa SMA/SMK sederajat telah memiliki kondisi fisik dan tahap pola pikir yang mampu melaksanakan protokol kesehatan.

"Gubernur Jatim sudah mengeluarkan surat dan hari ini diterima sekolah beserta teknisnya dari surat kepala dinas," kata dia.

Dari surat edaran gubernur tersebut, kata Wahid, cabang dinas dan kepala sekolah akan diminta untuk koordinasi dengan Satuan Tugas Covid-19 karena pelaksanaan pembelajaran tatap muka harus atas persetujuan mereka. Wahid mengingatkan, sarana dan prasana juga harus benar-benar menunjang penyelenggaraan pembelajaran tatap muka.

"Ada tugas dobel untuk pihak sekolah karena pertama ada siswa yang tidak diizinkan masuk sekolah oleh orang tua. Selanjutnya sekolah harus menyiapkan belajar tatap muka dan PJJ. Pelaksanaannya akan dilakukan dua minggu dan akan dievaluasi," kata Wahid.

Jika berjalan dengan baik, pada awal September, skema pembelajaran tatap muka yang menjadi percontohan nasional ini akan dikembangkan lebih besar lagi. Wahid menjelaskan, kebijakan uji coba bisa dilakukan kecuali di zona merah. Untuk yang zona oranye diperkenankan secara bergiliran masing-masing kelas 25 persen.

"Jadi jika sekelas ada 36 siswa, maka saat uji coba hanya sembilan siswa yang masuk. Sementara untuk zona hijau bisa melakukan pembelajaran tatap muka dengan 50 persen siswa masuk," katanya.

photo
Pelajar Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) memanfaatkan akses wifi gratis di pendopo Kantor Kecamatan Tambaksari Surabaya untuk menjalani belajar daring, Kamis (6/8 - (Republika/Dadang Kurnia)

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Prof. Akhmad Muzakki mengkritisi Mendikbud Nadiem Anwar Makariem yang membolehkan sekolah-sekolah di zona kuning dan zona hijau Covid-19 untuk menggelar pembelajaran tatap muka. Akhmad menilai, Nadiem tak konsisten dengan menyerahkan keputusan pembukaan sekolah ke masing-masing daerah.

"Ini yang enggak konsisten. Persoalan strategis ini justru diserahkan ke daerah. Nanti kalau ada apa-apa daerah yang kena. Sementara persoalan lain di-handle oleh pusat (Kemdikbud)," kata dia dikonfirmasi Senin (10/8).

Menurut Akhmad, sudah seharusnya Mendikbud mengambil kebijakan yang sangat hati-hati dibarengi konsistensi yang sangat kuat, di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali. Dia tidak berharap,  menyerahkan sepenuhnya kebijakan boleh atau tidaknya pembelajaran tatap muka kepada pemerintah daerah dengan indikator yang agak longgar. 

"Saya melihat hal itu, agar konsisten. Karena sebelumnya kewenangan (kebijakan pembelajaran) diserahkan ke pusat melalui SKB 4 menteri.  Sekarang beda lagi, zona kuning boleh buka tapi diserahkan pada Pemda. Kasihan Pemda jika menanggung beban seperti ini," ujarnya.

Namun demikian, lanjut Akhmad, jika hal tersebut sudah diputuskan pemerintah, maka tak ada cara lain bagi pemerintah daerah selain menyiapkan kelengkapan untuk menjamin protokol kesehatan dijalankan secara ketat oleh sekolah. Dia pun mengingatkan Pemda untuk melakukan sinergi dengan orang tua siswa.

Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) ini melihat, ada dua kepentingan pembelajaran tatap muka dilakukan. Pertama faktor ekonomi, dan kedua faktor eko-sosial. Namun, kata dia, dua pertimbangan ini jangan sampai menurunkan disiplin untuk menjaga protokol kesehatan.

"Dan penting juga untuk melihat hasil survei, bahwa semakin muda usia, semakin longgar disiplin kesehatannya. Kekhawatiran ke depan akan muncul potensi penularan baru lewat sekolah," kata dia.

Dia kembali mengingatkan, kebijakan tersebut harus seimbang dengan perhatian jaminan kesehatan. Sebab, menurut dia budaya disiplin kesehatan masyarakt masih terbilang rendah. 

"Apalagi status darurat PBB tidak ada. Jadi masyarakat menganggapnya kita sudah baik-baik saja. Padahal belum," ujarnya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperbolehkan kembali sekolah yang berada di zona kuning atau berisiko rendah penularan Covid-19 untuk dibuka kembali. Kendati demikian, keputusan akhir terkait pembukaan sekolah tetap berada di tangan komite dan kepala sekolah.

"Untuk zona hijau dan kuning diperbolehkan. Bukan dimandatkan. Bukan dipaksakan. Tapi diperbolehkan kalau berkenan untuk melakukan pembelajaran tatap muka dengan protokol yang sudah ditentukan," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam taklimat media Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, Jumat (7/8).

Nadiem menjelaskan, keputusan pembukaan kembali sekolah pertama berada di tangan pemerintah daerah (pemda). SD hingga SMP oleh pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan SMA/SMK oleh pemerintah provinsi.

Pada tahap ini, pemda yang sudah merasa siap dipersilahkan membuka kembali sekolah. Sedangkan yang belum siap diizinkan melanjutkan belajar dari rumah (BDR).

Selanjutnya, kendati telah diizinkan oleh pemda, pihak sekolah bisa saja menolak untuk membuka kembali sekolah. Komite dan kepala sekolah lah yang berwenang menentukan untuk kembali belajar tatap muka atau melanjutkan BDR.

"Dan satu level lagi, bahkan kalau sekolahnya pun mulai melakukan pembelajaran tatap muka, tapi orang tua murid tidak memperkenankan anak pergi ke sekolah karena masih tidak nyaman dengan risiko Covid-19, itu adalah prerogatif dan haknya orang tua," ujar Nadiem.

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement