Rabu 12 Aug 2020 01:02 WIB

Mengatrol Daya Beli, Siapa Layak Menikmati Subsidi Gaji?

Subsidi gaji ini tak menjamin bisa mendongkrak daya beli masyarakat.

Nidia Zuraya
Foto: republika
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Pemerintah tengah menyiapkan aturan untuk pemberian subsidi gaji bagi pekerja. Subsidi ini berupa bantuan sebesar Rp 600 ribu per bulan.

Bantuan tunai berupa subsidi gaji ini diberikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya kalangan pekerja yang selama ini belum terjangkau paket bantuan untuk mengatasi dampak pandemi virus corona. Diharapkan, bantuan ini meningkatkan konsumsi dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di kuartal III dan IV 2020.

Subsidi gaji bagi pekerja ini bakal diberikan selama empat bulan mulai September mendatang. Setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi pekerja untuk bisa mendapatkan subsidi gaji ini.

 

Subsidi gaji ini ditujukan untuk para pekerja formal yang memiliki gaji atau penghasil di bawah Rp 5 juta per bulan, bukan merupakan PPNS atau pun pekerja BUMN. Selain itu mereka harus masih terdaftar sebagai peserta di BPJS Ketenagakerjaan dan aktif membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan (tidak ada tunggakan, red).

Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, jumlah pekerja formal dengan gaji kurang dari Rp 5 juta per bulan sebanyak 13,8 juta orang. Kelompok ini juga di luar pegawai BUMN dan PNS.

Sebelum rencana pemberian subsidi gaji ini disampaikan ke publik, pemerintah telah memberikan insentif bagi para pekerja formal yang berkerja di industri manufaktur. Insentif tersebut berupa pembebasan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 untuk karyawan selama enam bulan.

PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain terkait dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan Orang Pribadi dalam negeri. Insentif PPh Pasal 21 ini bisa dimanfaatkan hingga Desember 2020.

Bagaimana dengan pekerja informal yang jumlahnya di Indonesia lebih banyak dibandingkan pekerja formal?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2018, jumlah pekerja informal mencapai 70,49 juta orang sementara pekerja formal sebanyak 53,52 juta orang. Pada tahun 2019, jumlah pekerja informal tidak mengalami penambahan, sedangkan jumlah pekerja formal bertambah menjadi 56,02 juta orang.

Dibandingkan pekerja formal, penghasilan yang diperoleh para pekerja informal ini penuh ketidakpastian. Mayoritas para pekerja informal ini tidak memiliki penghasilan tetap. Kalaupun memiliki penghasilan tetap, mereka tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. 

Di masa pandemi Covid-19, baik pekerja formal maupun informal sama-sama terdampak daya belinya. Namun, sebagai pekerja dengan penghasilan tetap tentunya penurunan daya beli dari para pekerja formal ini tidak seanjlok daya beli pekerja informal yang tidak memiliki penghasilan tetap.

Dalam kondisi seperti saat ini bukankah mereka yang masuk kategori pekerja informal juga berhak mendapatkan subsidi gaji seperti pekerja formal?

Mengenai bantuan subsidi gaji, pemerintah menegaskan program ini bukan untuk mengistimewakan kelompok pekerja formal. Karena sebelumnya Pemerintah sudah menyalurkan bantuan penanganan dampak pandemi untuk kelompok masyarakat lain, yakni bansos untuk warga miskin, Program Keluarga Harapan serta berbagai insentif perpajakan dan stimulus lainnya.

Lantas, apakah para pekerja informal ini masuk kelompok penerima bansos untuk warga miskin atau Program Keluarga Harapan? Beberapa fakta yang saya temui di lapangan, para pekerja informal ini tidak termasuk dalam kelompok penerima bansos untuk warga miskin ataupun tercatat dalam Program Keluarga Harapan.

Sementara pemberian subsidi gaji untuk pekerja formal ini saya meragukan program ini bisa mendongkrak daya beli masyarakat yang pada akhirnya bisa mengerek angka pertumbuhan ekonomi nasional seperti harapan pemerintah. Karena mereka yang bakal menerima susbidi gaji ini adalah kelas menengah yang cenderung sedang menekan konsumsi di masa krisis pandemi.

Jika menerima subsidi gaji sebesar Rp 2,4 juta, mereka akan lebih memilih menyimpan uang subsidi tersebut sebagai dana cadangan untuk berjaga-jaga di masa ekonomi tak menentu seperti saat ini.  Kalaupun uang subsidi tersebut mereka belanjakan bukan untuk kebutuhan makan sehari-hari, melainkan untuk biaya pendidikan, kesehatan, dan liburan.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement