Selasa 11 Aug 2020 20:52 WIB

Jejak Sajak Khalil Gibran di Lebanon

Hingga kini madrasah Al-Hikmah masih ada di Beirut hanya saja berganti nama.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Fakhruddin
Jejak Sajak Khalil Gibran di Lebanon. Beirut, Lebanon.
Foto: google.com
Jejak Sajak Khalil Gibran di Lebanon. Beirut, Lebanon.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Siapa yang tidak mengenal Khalil Gibrab, penyair legendaris asal Lebanon -Amerika dengan berjuta karya- karyanya yang sangat romantis. 

Khalil Gibran lahir di Besharri pada 6 Desember 1883. Menurut buku Biografi Tokoh Sastra karya Ulinuha Rosyadi, Khalil Gibran berasal dari keluarga Khatolik Maronit. Ia juga berasal dari keluarga terpandang, kakeknya adalah tokoh masyarakat Besharri dan ibunya, Kamila Rahmi merupakan putri dari seorang pendeta Maronit, Estephanos Rahmi. Sayangnya, Khalil Gibran tumbuh dalam keluarga yang secara ekonomi sangat kekurangan. Hal ini menyebabkan Khalil Gibran tidak dapat mengenyam pendidikan formal. 

Kendati demikian tidak menyurutkan semangat belajar Khalil Gibran, terutama belajar bahasa, musik, dan seni lukis dari ibunya yang polygot (menguasai bahasa Arab. Prancis dan Inggris). 

Dikutip dari buku Menapak Jejak Khalil Gibran karya Fuad Hassan, Kamila Rahmi dikenal sebagai perempuan berkemauan keras tapi selalu bertutur kata lembut dan termasuk perempuan yang cerdas. 

 

Sedangkan ayahnya, Khalil bin Gibran (namanya yang kemudian disandangnya saat bermukim di Amerika) adalah seorang yang berpenghasilan terbatas. Ia bekerja sebagai penagih pajak tapi kecanduannya terhadap arak dan judi membawa keluarganya hidup dalam kemiskinan yang panjang. Hingga kemudian ayahnya dipenjara karena penggelapan. Saat itulah kemudian, Kamila memboyong anak-anaknya pindah ke Boston, Amerika Serikat pada 1894.

Gibran memiliki tiga bersaudara. Kakaknya, Peter adalah anak dari suami pertama ibunya sebelum menikah dengan Khalil bin Gibran ayahnya. Kedua adiknya adalah Mariana dan Sultana. 

Di Boston, Khalil Gibran bersama keluarganya tinggal di apartemen kecil dan kumuh di daerah China-Town. Tempat tinggalnya itu berbeda jauh dengan lingkungan tempat tinggal dimasa kecilnya di lereng Gunung Cedar dengan pemandangan yang menghadap laut lepas. 

Di Boston, Khalil Gibran mengenyam pendidikan formal dan seni. Di dunia kesusastraan, kemampuan Gibran melesat sehingga membuat kagum guru-gurunya. Seorang guru Bahasa Inggris yang kagum dengan kemahiran bahasanya, meminjamkan buku-buku yang semakin merangsang minat Gibran pada kesusastraan. 

Kemudian guru seninya, begitu terpesona dengan lukisan Gibran sehingga gurunya kerap kali meminta seorang pelukis untuk menilai lukisan Gibran. Pelukis ini yang menyimpulkan bahwa Gibran memiliki bakat seni lukis sehingga ia juga mengizinkan Gibran untuk datang teratur dan magang di studionya. 

Gibran juga belajar dengan seorang pemahat Prancis, Auguste Rodin saat bermukim di Prancis. Keduanya sangat akrab, Gibran merasa lukisannya bisa dihidupkan oleh patung-patung karya Rodin. 

Pada 1896 Gibran kembali ke Lebanon untuk memperdalam bahasa dan sastra Arab. Kali ini Gibran masuk Madrasah Al-Hikmah di Beirut, sekolah yang diselenggarakan Gereja Maronit. Di madrasah, Gibran tidak hanya memperdalam bahasa dan sastra Arab tapi juga tentang agama dan bahasa siriania dan Aramia sebagai bahasa gereja Maronit. 

Selama bersekolah itu, Gibran diwajibkan dua kali dalam sehari mengikuti acara di gereja, masa ini sangat berpengaruh terhadap kentalnya orientasi religius yang terpantul melalui banyak karyanya dikemudian hari. Perkenalannya dengan ragam kesusastraan Arab kuno juga berdampak terhadap cara Gibran mengungkap perasaannya. 

Dalam tradisi Arab, nilai seorang penyair tidak semata-mata tergantung pada kemahirannya berbahasa atau berbicara melainkan juga menuntut kepekaan sentimental dan emosional yang tergambar mengenai ungkapannya mengenai suatu gejala atau peristiwa yang dialaminya.

Hingga kini madrasah Al-Hikmah masih ada di Beirut hanya saja berganti nama menjadi  Pada 1901 Khalil Gibran lulus dengan nilai tinggi, maka mulailah ia kembali mengembara belajar seni di Yunani, Italia, Spanyol dan akhirnya menetap di Paris. 

Di Paris, saat usianya 18 tahun, Khalil Gibran melahirkan karya yang sangat mengejutkan masyarakat Lebanon, khususnya di kalangan penguasa, gereja, dan pendeta, yaitu Spirit Rebellious. Melalui bukunya itu, Khalil Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang sangat tidak adil dan menyerang keras kesewenangan para penguasa melainkan juga melancarkan kecaman pedas terhadap gereja.

Pada 1902, Gibran meninggalkan Paris untuk kembali ke Boston karena ibunya yang mengalami sakit keras. Saat menemani ibunya yang sakit, tepatnya pada 4 April 1902 adiknya Sultana meninggal dunia karena penyakit Tuberkulosis. Tidak berhenti di sana, kakaknya, Peter, yang merupakan tulang punggung keluarga juga meninggal dunia pada tahun berikutnya, 12 Maret 1903 akibat penyakit Tuberkulosis atau TBC. Empat bulan kemudian ibunya juga meninggal dunia, sebagian sumber menyebut ibunya meninggal karena kanker tapi sebagian berpendapat ibunya meninggal karena tuberkulosis juga. 

Rentetan kematian keluarganya membuatnya semakin terpukul. Kini Gibran dan Mariana hanya tinggal berdua, Gibran bekerja sambilan sebagai penjilid buku dan Mariana menjahit. Hampir bersamaan dengan serentetan peristiwa kematian keluarganya, seluruh lukisannya yang dipamerkan dalam sebuah pameran dilahap api bersama terbakarnya gedung pameran itu. Gibran kembali terpukul. 

Setelah mengalami masa yang menyedihkan itu, Gibran kembali bangkit dan semakin produktif dengan karya-karya barunya. Baik lukisan maupun tulisannya mulai menaik perhatian umum. Karyanya The Prophet diterbitkan pada 1923 dalam bahasa Inggris yang kemudian tersebar di seluruh penjuru dunia dan diterjemahkan dalam dua puluh bahasa timur dan barat. 

Karyanya yang lain ada The Madman, Sand and Foam, Twenty Drawinh, dan The Forerunne. Kemudian ada juga Sayap-Sayap Patah, Sang Nabi atau Almustafa, sang Musafir, Taman Sang Nabi dan Pasir dan Buih.

Pada tanggal 10 April 1931 pukul 22.50 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya sejak lama digerogoti sirosis hati dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Universal Funeral Parlor di New York. 

Keesokan harinya jenazah dibawa kereta api menuju Boston di gereja Our Lady of The Cedars. Peti jenazah khalil Gibran diselimuti oleh bendera Lebanon yang kemudian ditempatkan sementara di pemakaman Santa Benedict.

Baru pada 23 Juli 1931 dibawa ke kapal. Sajak-sajaknya dibacakan ketika jenazah khalil Gibran dipindahkan ke kapal menuju Lebanon. Baru pada 21 Agustus jenazahnya tiba di Beirut dan disambut oleh Menteri Pendidikan untuk menyematkan bintang seni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement