Rabu 12 Aug 2020 19:58 WIB

Titik Kritis Bumbu Dapur Instan

Enzim dari hewan yang digunakan tersebut harus jelas kehalalannya.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Titik Kritis Bumbu Dapur Instan (ilustrasi)
Foto: farmhousecooking.com
Titik Kritis Bumbu Dapur Instan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Berbagai kesibukan ibu rumah tangga, baik mengurus buah hati atau membantu suami mencari nafkah, membuat waktu di dapur semakin sempit. Untuk efisiensi, menggunakan bumbu instan dibanding membuat sendiri menjadi pilihan. Ditambah masakan khas Indonesia yang dikenal menggunakan berbagai macam rempah-rempah.

Industri makanan pun berlomba-lomba memproduksi bumbu instan yang awalnya hanya sekadar penyedap rasa, kini merambah, seperti bumbu nasi goreng, kari, gulai, rendang, dan sebagainya.

Tidak hanya berupa bumbu kemasan, di pasar tradisional juga ditemui berbagai macam bumbu siap pakai yang dikenal dengan bumbu giling. Namun, baik bumbu kemasan maupun giling memiliki titik kritis yang perlu diperhatikan dari segi kehalalan dan ketoyibannya.

Dosen Biokimia IPB Dr Anna P Roswiem mengatakan bahwa titik kritis bumbu instan yang perlu diperhatikan, yakni kandungan monosodium glutamat (MSG), disodium inosinat (IMP), dan disodium guanilat (GMP). “Ketiga bahan tersebut biasanya diproduksi oleh industri makanan melalui proses fermentasi,” ujarnya.

Dalam proses fermentasi diperlukan media untuk pengembangbiakan mikroba untuk mempercepat hasil fermentasi. Biasanya media pengembangbiakan mikroba menggunakan enzim yang terkandung dalam hewan.

Hewan yang digunakan tersebut harus jelas kehalalannya. “Benar tidak menggunakan hewan yang halal, jika menggunakan hewan yang halal, harus diketahui sesuai syariat tidak cara penyembelihannya,” kata Anna.

Selain dalam proses fermentasi, titik kritis lainnya, yaitu penambahan minyak yang sering ditemui dalam bumbu instan yang basah. Minyak yang digunakan harus jelas berasal dari minyak nabati atau minyak hewani.

“Jika dari minyak hewani, pun harus dari lemak hewan yang halal, bukan lemak haram seperti babi,” ujarnya. Anna menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir karena selama ini industri makanan di Indonesia telah memperhatikan kehalalan produk mereka.

Masyarakat tinggal mengamati label halal LPPOM MUI di kemasan. Berbeda halnya jika bumbu instan ini ditemui di pasar tradisional tanpa kemasan ataupun tanpa berlogo halal.

Dalam bumbu giling di pasar tradisional biasanya yang perlu diperhatikan sisi toyibnya. Banyak bumbu giling siap pakai yang tersedia di pasar tradisional, seperti bawang merah, cabai, bawang putih, jahe, kunyit, lengkuas, dan sebagainya.

Bumbu giling ini selain dibedakan dari rasa, juga dari warnanya. Untuk menarik pembeli, biasanya mereka menggunakan bahan pewarna makanan. “Jika mereka menggunakan bahan pewarna makanan, tidak jadi masalah, yang dikhawatirkan adalah pewarna yang digunakan dari pewarna tekstil,” kata Anna. Ini sangat berbahaya bagi kesehatan.

Bumbu giling dan bumbu instan juga sering ditemukan mengandung bahan pengawet atau benzoat, tetapi biasanya kadarnya masih rendah dan kadar racunnya pun masih minim.

Namun, baik zat pewarna tekstil maupun benzoat yang digunakan jika terlalu berlebihan maka akan berakibat kanker dan tumor. Ini karena bahan tersebut mengandung merkuri dan logam-logam berat yang mengendap dalam tubuh dan tidak dapat dicerna.

Begitu juga dengan MSG, bahan perasa gurih ini sering ditemui baik terdapat dalam bumbu instan maupun makanan instan. MSG yang masuk ke tubuh akan terurai menjadi natrium asama glutamat.

Asam glutamat merupakan asam amino yang sifatnya asam kuat dan juga nonesensial. “Biasanya asam amino nonesensial dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh kita, apa jadinya kalau tubuh dipenuhi oleh asam amino nonesensial berlebih,” katanya.

Makanan yang dimakan pun biasanya terdapat asam amino nonesensial. Asam amino yang berlebih dapat mengubah standar pH yang ada dalam darah.

Di dalam darah terdapat enzim yang harus bekerja sebagai sistem buffer. Asam amino nonesensial yang berlebihan dapat mengubah pH menjadi pH yang sangat asam.

Enzim yang tidak dapat bekerja akan mengganggu metabolisme tubuh. Sehingga, kesehatan pun menurun.

Begitu juga dengan IMP dan GMP merupakan turunan dari basa purin. Basa purin ini memiliki asam urat. Jika terlalu banyak mengonsumsi IMP dan GMP maka asam uratnya bertambah yang dikenal dengan penyakit asam urat.

Ahli Gizi Ati Nirwanawati SKM MARS mengatakan bumbu instan mengandung bumbu penyedap dan bahan pengawet dengan kadar garam yang tinggi. “Konsumsi bumbu instan terlalu berlebihan akan memacu kerja tubuh sehingga mudah lelah,” ujarnya.

Apalagi, jika konsumsi bumbu instan telah dimulai sejak kecil maka biasanya sulit sekali untuk berhenti hingga lanjut usia. “Bumbu instan tidak baik digunakan, sebiasa mungkin kita mengonsumsinya maksimal hanya dua hingga tiga kali setiap pekan,” kata Ati.

Ia menyarankan lebih baik tetap menggunakan bumbu segar yang dibuat sendiri di rumah. Jika memang tidak memiliki waktu banyak tetapi ingin masak makanan aneka rempah, dapat menggunakan bumbu giling.

“Bumbu giling masih lebih baik meskipun masih ada bahan pengawet, tetapi tidak lama. Bumbu giling yang bagus biasanya bertahan selama tiga hari saja,” ujarnya.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika edisi Jumat, 23 Mei 2014

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement