Senin 17 Aug 2020 01:35 WIB

Kemerdekaan yang Terenggut oleh Covid-19

Vaksin yang sedang diuji coba pun belum tentu teruji bisa kebal Covid-19.

Reiny Dwinanda
Foto: istimewa/doc pribadi
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*)

Ketika berhadapan dengan musuh yang tak dikenal, seorang petarung yang cerdas niscaya akan mencoba beragam cara untuk mencari titik lemah lawannya sambil mempertahankan diri. Dia harus terus bergerak, gesit menghindari serangan seraya melancarkan perlawanan.

Naluri untuk bertahan hidup dan meminimalisasi rasa sakit akibat pukulan lawan akan memandunya untuk keluar dari arena dengan selamat. Kemana naluri itu saat kita berhadapan dengan virus corona?

"Kemerdekaan" kita sesungguhnya telah terenggut oleh Covid-19. Hanya saja, sepertinya, sebagian orang belum menganggap virus corona sebagai musuh yang harus diperangi.

 

Tak heran jika belum ada perubahan perilaku kesehatan masyarakat terkait protokol pencegahan penyebaran dan penularan Covid-19. Sebagian orang malah ada yang bercanda dengan virus penyebab Covid-19 itu. Mereka dengan sadar tak pakai masker, terus kumpul-kumpul, dan masih tak percaya penyakit dengan 1001 wajah itu benar-benar ada atau bisa menimbulkan kerusakan serius pada tubuh.

Perubahan perilaku ini menjadi kunci penting dalam melawan virus corona. Respons kita terhadap Covid-19 sangat menentukan pengendalian wabah ini di Tanah Air. Tetapi, bagaimana bisa merdeka dari Covid-19 jika kita tak menyatakan perang terhadapnya?

Ilmuwan dunia sesungguhnya telah memperingatkan bahwa virus corona mungkin tak benar-benar sirna dari muka Bumi. Bisa jadi, ia akan terus ada dan kita harus beradaptasi sama seperti ketika menghadapi penyakit-penyakit lain yang belum juga hilang meski ada vaksinnya. Sebut saja campak, polio, cacar air, atau tuberkulosis.

Kita mungkin akan hidup di bawah ancaman Covid-19. Ke depannya, memakai masker, tak bersalaman, tak cium pipi kiri-kanan, menjaga kebersihan tangan, tak buang ludah sembarangan, menutup mulut dan hidung ketika bersin atau batuk, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain akan menjadi lazim.

Optimisme penemuan vaksin virus corona memang harus terus digelorakan. Vaksin Merah Putih pun sedang dikembangkan beriringan dengan uji klinis tahap III kandidat vaksin Sinovac dari China. Akan tetapi, butuh waktu dan dana untuk mengembangkan vaksin, memproduksinya dalam jumlah banyak, dan membuat cukup banyak populasi terimunisasi demi menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity).

Antusiasme terhadap penelitian vaksin potensial sebaiknya tak sampai membuat kita lupa akan ancaman yang ada di depan mata. Sebab, vaksin yang sedang diuji coba pun belum tentu teruji efikasi dan keamanannya atau kemampuannya menimbulkan kekebalan. Kita harus sadar akan kemungkinan terburuk itu.

Di lain sisi, kita belum melakukan upaya yang cukup, terarah, dan padu sebagai sebuah bangsa dalam memerangi virus yang sudah dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia sejak 11 Maret. Padahal, sejak lima bulan lalu, korban infeksi virus yang bentuknya menyerupai mahkota itu terus berjatuhan.

Per Sabtu, angka kematian sudah lewat dari 6.000 nyawa. Kasus positif Covid-19 telah mencapai 137 ribu.

Tak pandang bulu, menteri, dokter, perawat, arsitek, wartawan, pedagang, guru, hingga pelajar pun diusiknya. Lansia, orang usia produktif, remaja dan anak, hingga bayi bisa tertular. Jangan tunggu kita atau orang terdekat positif Covid-19 untuk memercayai wabah ini bukanlah isapan jempol atau sesuatu yang dibuat-buat kalangan medis demi mendulang keuntungan.

Memang tidak mudah untuk mengubah cara pandang keliru terhadap Covid-19. Itu sebabnya, pemerintah tak boleh lengah dalam membuat kebijakan atau menyampaikan informasi. Pemerintah harus menjadi rujukan utama masyarakat dalam mencari informasi mengenai Covid-19.

Untuk menjadi sumber yang bisa diandalkan, tentunya pemerintah harus mendengar  pakar-pakar yang kredibel. Hentikan narasi yang meninabobokkan, seolah semua akan baik-baik saja. Lebih baik, kita semua tahu kabar baik dan buruknya agar respons yang muncul juga tidak keliru.

Pengetahuan dunia tentang virus corona memang terus berkembang. Tak terkecuali soal mutasinya, gejala-gejala baru yang menyertai infeksinya, pencegahan penyebaran dan penularannya, hingga obat serta vaksin potensialnya.

Mitos-mitosnya pun terus bermunculan. Sebuah studi baru di 87 negara menemukan rumor, mitos, dan teori konspirasi yang beredar daring di tengah pandemi virus corona telah menyebabkan banyak kematian. Peneliti yang terlibat dalam studi itu pun merekomendasikan agar badan kesehatan dengan cepat melacak informasi yang salah terkait dengan Covid-19 dan melibatkan masyarakat lokal dan pejabat pemerintah dalam meluruskannya.

Di 75 tahun kemerdekaan, kita nyatanya masih berjuang untuk hidup di tengah pandemi. Kita juga masih berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kemampuan literasi masyarakat, apalagi literasi digital, yang masih rendah bisa membahayakan perjuangan melawan Covid-19. Entah berapa kali masyarakat kejeblos informasi yang salah, baik dari influencer, pakar kaleng-kaleng, hingga orang-orang di pemerintahan. Ini jadi PR besar bagi Indonesia.

*) penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement