Senin 17 Aug 2020 21:09 WIB

Makanan Haram

Betapa besar risiko akibat makanan-makanan yang haram.

Ilustrasi Makanan Halal
Foto: Foto : MgRol100
Ilustrasi Makanan Halal

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: NS Risno

Dikisahkan bahwa Abu Bakar as-Sidik pernah memasukkan ujung jari ke tenggorokannya agar makanan yang sudah telanjur ia telan bisa keluar lagi. Ia lakukan hal tersebut ketika mengetahui makanan pemberian pelayannya hasil dari usaha menjampi seeorang pada masa jahiliyah.

Sambil terus berusaha mengeluarkan makanan dalam perutnya, ia berkata, “Seandainya makanan ini tidak bisa keluar, kecuali dengan mengeluarkan nyawaku, sungguh aku akan melakukannya.”

Begitulah Abu Bakar, sahabat sekaligus mertua Rasulullah ini sangat besar perhatiannya dalam menjaga agar sesuatu yang haram tidak masuk ke dalam tubuhnya.

Sekecil apa pun makanan, ketika masuk ke dalam tubuh seseorang, akan berpengaruh besar bagi kehidupan orang tersebut. Makanan halal akan memberi pengaruh baik sedangkan makanan haram akan mendatangkan pengaruh yang buruk.

Dari Ibnu Abas, diriwayatkan bahwa Sa'ad Abi Waqqash pernah berkata, “Ya Rasulullah, doakan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang dikabulkan doanya oleh Allah.” Maka, Rasulullah bersabda, “Wahai Sa'ad, perbaikilah makananmu (makanlah yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan, demi jiwaku yang ada di tangan-Nya. Sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, neraka lebih layak baginya.” (HR ath-Thabrani).

Rasulullah pernah menceritakan tentang seorang laki-laki yang habis menempuh perjalanan jauh sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu lalu mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan diberi makan dari yang haram. Maka, bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya yang demikian?” (HR Muslim).

Dari hadis di atas dijelaskan, ketika seseorang mengonsumsi makanan haram, baik haram karena zatnya maupun haram disebabkan cara mendapatkannya, maka akan menyebabkan, pertama, doanya tidak akan pernah dikabulkan Allah.

Kedua, amal kebaikannya tidak akan diterima. Dan, yang ketiga, di akhirat akan ditempatkan dalam neraka.

Betapa besar risiko akibat makanan-makanan yang haram. Maka, sudah seharusnya seorang Muslim memperhatikan setiap makanan yang hendak dimakan, menjaga diri dan keluarga dari makanan haram, tidak memberi nafkah kecuali dari hasil nafkah yang halal.

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata, “Ketika Perang Khaibar, para sahabat Nabi melihat para korban dan mereka berkata, ‘Fulan syahid, fulan syahid,’ hingga sampailah ketika mereka melewati seseorang. Kata mereka, ‘Si fulan ini pasti syahid.’ Hal itu disaksikan oleh Nabi maka beliau bersabda, ‘Tidak, sungguh aku melihat dia dalam neraka gara-gara kain burdah yang ia ghulul.’” (HR Muslim).

Nah, jika karena mengambil sesuatu yang belum menjadi haknya seorang mujahid yang gugur di medan perang saja pahalanya terganjal dan harus masuk neraka, padahal jihad merupakan puncaknya sebuah amal, lantas bagaimana dengan amalan-amalan lainnya jika pelakunya masih mengonsumsi, mengambil, dan menerima sesuatu yang haram? Wallahu a’lam.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Rabu, 11 Desember 2013

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement