Senin 17 Aug 2020 21:19 WIB

Menyoal Penggunaan Khamar untuk Obat

Terjadi perselisihan pendapat terkait isu ini.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Menyoal Penggunaan Khamar untuk Obat (Ilustrasi)
Foto: Flickr
Menyoal Penggunaan Khamar untuk Obat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Khamar, termasuk salah satu minuman yang haram dikonsumsi oleh Muslim. Baik khamar yang berasal dari anggur atau bahan dasar lainnya yang dimasak ataupun tidak. Pengharaman khamar tersebut, karena mengonsumsi khamar termasuk barang yang najis dan merupakan perbuatan setan. Ini seperti yang tertuang di ayat berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah [5] :90).

Tetapi, Dr Ismail Marhaba dalam disertasinya berjudul al-Bunuk ath-Thibbiyyah al-Basyariyah wa Ahkamuha al-Fiqhiyyah mengatakan, ketika kondisi tertentu, adakalanya menuntut seseorang bersinggungan langsung dengan khamar untuk kepentingan pengobatan. Entah dikonsumsi secara oral ataupun sekadar dioleskan di kulit atau bagian luar tubuh lainnya.

Ia mengatakan, para ulama berbeda pendapat terkait hukum penggunaan khamar untuk obat. Menurut opsi yang pertama,  pemakaian khamar untuk kepentingan pengobatan diperbolehkan. Ini merupakan pandangan salah satu opsi dari Mazhab Hanafi, riwayat lain dari Mazhab Syafii, dan bagian pendapat dari Mazhab Maliki.

Meski memperbolehkan, tetapi kelompok ini memberlakukan beberapa syarat, yaitu objek penyakit yang ditangani  ialah bagian luar tubuh, adanya prediksi yang  kuat bahwa penyakit akan sembuh lewat konsumsi khamar, tidak ditemukannya alternatif obat selain khamar, dan syarat terakhir, hendaknya kadar khamar tersebut digunakan secukupnya, tidak berlebihan dan menyebabkan hilang kesadaran. 

Sedangkan kelompok yang kedua, mengutarakan sederetan dalil antara lain surah al-An'am ayat 119. Ayat itu menegaskan bahwa penggunaan media haram untuk tujuan medis diperbolehkan selama dalam kondisi darurat.

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”

Dalil lain yang mereka gunakan sebagai dasar argumentasi pendapat ialah hadis riwayat Bukhari. Hadis itu mengisahkan bahwa suatu saat, Rasulullah pernah menyarankan agar para rombongan yang datang dari Arinah, salah satu blok di Desa Bajilah, jika mereka berkenan agar meminum susu ataupun air kencing unta. Kubu ini juga mempergunakan kaidah fikih, yang berbunyi: "Menghindari dua kerusakan daf'u a'dham al mafsadatain." Artinya, jika dua kerusakan berkumpul maka dikedepankan mudharat yang kadarnya lebih kecil. 

Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh mayoritas ulama mazhab. Mereka sepakat haram hukumnya memakai khamar guna keperluan medis. Pendapat ini disuarakan oleh para ahli fikih dari kalangan Mazhab Hanafi, Maliki, salah satu opsi pendapat yang kuat dari Syafii, dan pendapat ulama Mazhab Hanbali.

Selain surah al-Maidah ayat 90, kelompok yang pertama menggunakan sejumlah dalil, antara lain, hadis riwayat Muslim dari Thariq bin Suwaid. Sahabat tersebut pernah bertanya kepada Rasulullah SAW perihal khamar, lalu Nabi melarang atau mencegahnya memproduksi khamar. Thariq berdalih, khamar yang ia produksi untuk kepentingan pengobatan. “Khamar bukan obat tapi penyakit,” kata Rasul.

Riwayat lain dari Imam Ahmad dan al-Baihaqi, menuturkan sebuah hadis dari Ummu Salamah yang memiliki perasan anggur yang telah menjadi khamar. Khamar itu hendak ia gunakan untuk mengobati putrinya. Rasulullah menegur bahwa Allah SWT tidak akan memberi kesembuhan dari media yang diharamkan.

***

Boleh dengan syarat:

Salah satu opsi dari Mazhab Hanafi, riwayat lain dari Mazhab Syafii, dan bagian pendapat dari Mazhab Maliki

Tidak boleh :

Mazhab Hanafi, Maliki, salah satu opsi pendapat yang kuat dari Syafii, dan pendapat ulama Mazhab Hanbali.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 13 Desember 2013

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement