Rabu 19 Aug 2020 05:53 WIB

Gertak Pemuda, Sukarno Naik Pitam dan Proklamasi  

Baik kaum tua maupun muda telah banyak berkorban untuk Indonesia tercinta.

Nurdin Qusyaeri, Dosen Ilmu Komunikasi KPI STAI PERSIS Bandung.
Foto: dokpri
Nurdin Qusyaeri, Dosen Ilmu Komunikasi KPI STAI PERSIS Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nurdin Qusyaeri, Dosen Ilmu Komunikasi KPI STAI PERSIS Bandung

Proses penyelesaian akhir kemerdekaan Republik Indonesia pada Agustus 1945 diwarnai kemelut besar antara kaum muda (API, Soekarni Cs dan Sahrir) dengan Soekarno – Hatta Dkk (Kaum Tua).

Ketika itu, Soekarno menjadi ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). PPKI ini dibentuk oleh Jepang dengan maksud melanjutkan tugas BPUPKI mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Jumlah  anggota PPKI sebanyak 21 orang dengan diwakili berbagai etnis (kepentingan). 

Perbedaan pandangan terjadi karena kelompok tua menghendaki proklamasi kemerdekaan tersebut by proses, by design, matang penuh perhitungan, laukna beunang caina herang, menang tanpa menyakiti dan tanpa mengecewakan pihak lawan, yaitu pemerintah Jepang. PPKI juga beralasan bahwa kekuasaan Jepang di Indonesia masih berlangsung dan belum diambil alih. 

Sedangkan kelompok kedua, sesuai karakter “darah mudanya”, menghendaki proses kemerdekaan itu dilakukan dengan cepat dan sesegera mungkin dengan kekuatan sendiri dan tanpa campur tangan pemerintah Jepang. Mereka bermaksud menghindari kesan bahwa kemerdekaan itu merupakan hadiah atau pemberian dari pemerintah Jepang. 

Kaum muda pun mendesak itu dengan alasan posisi Jepang yang bertubi-tubi mengalami kepanikan, mengingat pada 6 dan 9 Agustus 1945 Amerika Serikat telah menjatuhkan bom atom di Kota Hirosima dan Nagasaki. Hingga akhirnya 14 Agustus Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu dalam Perang Dunia II.

Mohammad Hatta menceritakan ketegangan para pemuda yang saat itu mendesak dan memaksa Soekarno supaya secepatnya menyatakan Kemerdekaan dalam Kumpulan Karangan, yang telah ditulisnya dalam Mimbar Indonesia, No. 22/33, tgl.17/8-1951:

“Pada 15 Agustus malamnya, tatkala saya sedang menyusun teks proklamasi yang akan ditetapkan esok harinya dalam sidang panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, datanglah Mr. Subardjo mengajak saya pergi ke rumah Bung Karno, sebab ia sedang dikerumuni oleh beberapa orang pemuda dibawah pimpinan Wikana dan Chairul Saleh."

"Sampai di sana kelihatan Wikana mendesak Bung Karno, supaya bicara malam itu juga dimuka corong radio menyatakan, bahwa Indonesia memerdekakan dirinya dari genggaman Jepang. Oleh karena Bung Karno tetap menolak perbuatan itu karena tak dapat dipertanggungjawabkannya, maka Wikana mengancam: 'Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman itu malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah'." 

Mendengar ancaman itu Bung Karno naik darahnya, dia jalan menuju Wikana sambil berkata: “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu sampai besok hari”.

Wikana rupanya terperanjat melihat sambutan Bung Karno yang tidak disangkanya itu, lanjut Hatta. “Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro-Belanda, seperti orang-orang Ambon, dll," jawab Wikana, gugup.

Gertak, tak lain daripada gertak, tetapi meleset malam itu, karena prinsip yang bertentangan, kata Hatta. Kendati cara dialog tidak berhasil, para pemuda itu tidak kehilangan akalnya, mereka mengambil jalan lain yang menyimpang yaitu pada tanggal 16 Agustus dini hari, mereka menculik Soekarno – Hatta  untuk diungsikan ke Rengas Dengklok, Karawang, Jawa Barat.

Baik kaum tua maupun muda mereka telah banyak berkorban untuk negeri Indonesia tercinta dengan membawa Indonesia terbebas dari belenggu penjajah. Kemudian membawa Indonesia menjadi negara yang punya “taring” berhadapan dengan negara lain. Sudah sepantasnya kaum tua itu dijadikan rujukan utama oleh pemerintah sekarang dalam memberikan pengorbanan ekstra terhadap negara.

Jangan sampai celotehan-celotehan seperti: “beda pemimpin dulu dengan sekarang: dulu dipenjara dulu kemudian memimpin/jadi pejabat; sekarang memimpin/jadi pejabat dulu lalu dipenjara”. Dahulu pemimpin malu merampok uang rakyat. Pemimpin sekarang sebaliknya. Bahkan Jabatan tertinggi pemimpin sekarang adalah penjara.

Untuk kaum muda, pesan Moh Hatta: kepada kaum muda yang inget akan sumpah dan janjinya: Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya. Marilah kita mendoa: indonesia bahagia! Marilah kita berjanji: Indonesia abadi!”

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement