Kamis 27 Aug 2020 08:52 WIB

Warga Durban Menangkan Kasus Pembatasan Adzan

Kasus pembatasan adzan dimenangkan warga Duban.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Warga Durban Menangkan Kasus Pembatasan Adzan. Foto: Azan (ilustrasi)
Foto: forsil.org
Warga Durban Menangkan Kasus Pembatasan Adzan. Foto: Azan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DURBAN -- Seorang warga Durban, Chandra Giri Ellaurie yang secara terbuka mengaku menentang keyakinan Islam, memenangkan kasus pembatasan adzan. Sebelumnya, Ellaurie membawa sebuah lembaga keagamaan Muslim di dekat rumahnya ke pengadilan akibat suara adzan yang dianggap 'mengganggu' hidupnya.

Dilansir di News 24, Kamis (27/8), dalam putusan Pengadilan Tinggi, Hakim Sidwell Mngadi menggambarkan Chandra Giri Ellaurie dari Pantai Isipingo, selatan Durban, sebagai 'tanpa malu-malu menentang keyakinan Islam' yang disebarkan oleh Madrasah hanya beberapa meter dari rumahnya.

Baca Juga

Dalam putusannya, Ellaurie mengatakan kepada persidangan bahwa Madrasah Taleemuddeen Islamic Institute, yang berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya, membunyikan adzan lima kali sehari, dengan azan pertama pada pukul 03:30 waktu setempat.

“Pemohon menyatakan adzan adalah suara asing yang masuk ke ruang privatnya. Itu membebani dia. Itu membuat dia tidak bisa menikmati kenyamanan di rumahnya dan mengganggu kedamaian dan ketenangannya. Ini semakin mengganggu tidurnya, mendengarkan musik dan meditasi," kata Mgadi.

 

Mngadi mengatakan Ellaurie lebih lanjut menuduh Madrasah memberikan suasana khas Muslim di pinggiran kota. Hal itu dituding sebagai tujuan untuk menarik orang-orang yang beragama Islam dan menjauhkan non-Muslim. Komunitas Muslim di daerah tersebut pun dilaporkan telah meningkat 30 persen dalam 15 tahun terakhir.

"Dominasi satu kelompok mengakibatkan arogansi dan dominasi kelompok dominan," tuduh Ellaurie.

Dalam putusannya, Ellaurie mengatakan dia juga mencoba intervensi lain, termasuk menulis ke eThekwini Metro, responden kedua dalam masalah itu, pada tahun 2003. Ia mengatakan pertemuan diadakan pada tanggal 15 Desember 2003, tetapi itu terganggu ketika seseorang melewati daerah itu dengan kecepatan tinggi, melepaskan senjata api.

Lebih lanjut ia juga mengatakan, sekitar waktu itu suara gaduh di dini hari sebelum matahari terbit dan tidak lama setelah adzan pertama. Pemkot, menurutnya, tidak mengambil langkah lebih lanjut untuk membenahi 'permasalahan' adzan yang mengganggunya itu.

Pada 28 Juli 2004, Ellaurie melaporkan adzan itu kepada Komisi Hak Asasi Manusia SA (SAHRC), yang merekomendasikan Asosiasi Muslim Pantai Isipingo untuk berhenti menggunakan sistem penguat suara eksternal selama adzan pertama setiap hari.

Di antara resolusi tersebut adalah bahwa tingkat penguatan yang sesuai akan diperbaiki dan tidak diserahkan kepada kebijaksanaan orang yang memanggil orang lain untuk berdoa.

SAHRC juga mengatakan bahwa setiap adzan harus berlangsung tidak lebih dari tiga menit. Dalam dokumen pengadilan, Ellaurie mengatakan bahwa pada saat itu, perwakilan Madrasah menganggap rekomendasi tersebut masuk akal dan mendukungnya. Namun, hakim menolak upaya Ellaurie untuk melarang Madrasah dari daerah itu secara bersamaan. Ellaurie mencoba berargumen bahwa melakukan itu untuk kepentingan umum.

“Namun, dia tidak memiliki jawaban ketika ditanya publik mana dia bertindak atas nama, atau siapa yang memberinya wewenang untuk bertindak. Menurut saya, tidak ada bukti masyarakat mana yang memiliki pandangan yang sama dengan pemohon terkait Islam," kata Mngadi.

"Dalam persoalan yang memecah belah publik, seseorang tidak bisa menuntut atas nama publik,” ujarnya.  

Selanjutnya, kata dia, ketika pelamar ditanya apa yang telah dilakukan Madrasah kepadanya sehingga dia berhak meminta agar madrasah itu dilarang di daerah itu, dia tidak menjawab.

Namun, dia mengatakan bahwa dia ingin daerah itu dikembalikan ke kejayaannya seperti semula. "Menurut saya, pemohon tidak memiliki locus standi untuk meminta perintah pelarangan Madrasah dari daerah tersebut," kata Mngadi.  

Ketua Asosiasi Muslim Isipingo, Mohammed Pate, mengatakan Madrasah tidak mengirimkan panggilan untuk sholat melalui radio atau televisi. Dia mengatakan Madrasah tidak bermaksud menggunakan amplifikasi suara eksternal di masa depan, tetapi keberatan dilarang menggunakan adzan karena adzan merupakan masalah prinsip.

Dia mengatakan Madrasah tidak bisa menjadi calo seperti itu. "Untuk melakukan hal itu akan merugikan prinsip-prinsip dasar dari Konstitusi Republik,” kata Isipingo.

Mngadi memerintahkan Madrasah untuk memastikan bahwa adzan tidak pada tingkat yang dapat didengar di dalam rumah Ellaurie, tetapi juga tidak berdampak negatif terhadap Madrasah dan umat Muslim dalam cara menjalankan agamanya.

Mngadi mengatakan, Konstitusi menjamin kebebasan beragama, tetapi tidak menjamin praktik atau manifestasi agama.

"Adzan adalah manifestasi dari agama Islam, bukan Islam itu sendiri," kata Mngadi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement