Kamis 27 Aug 2020 19:14 WIB

Islam di Jerman, Jalan Panjang Menuju Pengakuan Negara

Islam di Jerman berjuang untuk mendapatkan pengakuan negara.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Islam di Jerman berjuang untuk mendapatkan pengakuan negara.  Bangunan masjid di Cologne Jerman ini dapat menampung sekitar 2.000 orang jamaah secara bersamaan.
Foto: EPA/Hening Keiser
Islam di Jerman berjuang untuk mendapatkan pengakuan negara. Bangunan masjid di Cologne Jerman ini dapat menampung sekitar 2.000 orang jamaah secara bersamaan.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Menurut pendapat ahli, masih ada kebutuhan besar untuk mengambil tindakan pengakuan hukum terkait Islam di Jerman. Sudah ada beberapa kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi komunitas agama Islam masih jauh dari sejajar dengan yang lain.

Kurangnya pengakuan ini disampaikan Susanne Kaiser, yang dikutip dari Qantara Kamis (27/8), dalam artikelnya berjudul: “Apakah Islam bagian dari Jerman?” 

Baca Juga

Hal itu disebut telah menjadi pusat perdebatan sosial selama bertahun-tahun. Selama waktu itu berbagai macam jawaban telah dicari, dan Muslim terus berusaha untuk mendapatkan pengakuan.

Namun apa artinya menjadi bagian dari Jerman, atau menjadi diakui? Apakah Islam menyatu dengan nilai-nilai Jerman dan sistem hukum Jerman? Atau apakah seorang Muslim biasa selalu bebas menjalankan agama dan budayanya di ranah publik?

 

Banyak contoh dari kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa ini bukan masalah sederhana, sebagai contoh masalah liburan. Penulis Monika Maron begitu yakin bahwa di Jerman, ada kebebasan beragama total, dan semua orang beriman diperbolehkan libur pada hari raya keagamaan. 

Dengan begitu, dalam polemik subjektif, dia menentang kebijakan integrasi Islam Jerman, dan seruan dari asosiasi Islam untuk memperkenalkan hari libur resmi Muslim untuk semua orang.

Akan tetapi asosiasi masih jauh untuk mencapai tujuan ini. Mereka sebenarnya menuntut agar umat Islam diizinkan untuk mengambil cuti pada hari-hari besar keagamaan seperti, Idul Adha, berbuka puasa, Asyura, dengan biaya sendiri.

Hingga saat ini, perusahaan dan sekolah diizinkan untuk menolak permintaan tersebut. Hanya karena kebebasan beragama ditambatkan dalam konstitusi, tidak berarti hak ini selalu diberikan. Organisasi Islam sejauh ini membatasi diri pada tuntutan minimal.

Pentingnya mengakui Islam secara legal dan sosial ditunjukkan dalam evaluasi baru oleh ahli studi Islam Dr Riem Spielhaus, dan ahli hukum Martin Herzog, dari Friedrich Ebert Foundation.

Studi tersebut menyatakan bahwa sebagai permulaan, merupakan perlu untuk memberi Muslim akses yang sama ke sumber daya seperti komunitas agama lainnya, pembiayaan proyek, perlindungan terhadap diskriminasi dan hak untuk mengamalkan keyakinan, serta kesempatan untuk menerapkan hak ini. Inilah tepatnya yang dirundingkan perwakilan politik dan mereka yang mewakili kepentingan asosiasi Islam.

Tetapi kesepakatan harus dicapai pada setiap detil praktik keagamaan Islam, dengan setiap negara bagian di Jerman, setiap komunitas dalam dialog yang dilakukan selama bertahun-tahun. Hukum Islam sederhana, seperti yang diberlakukan Austria, tidak akan berlaku di Jerman.  

Ada jalan panjang menuju kesetaraan hukum untuk praktik keagamaan ritual, dalam pendidikan, dan dengan keterlibatan sosial komunitas Islam. Masalah termasuk kuburan Islam dan upacara penguburan, pembangunan masjid, ritual penyembelihan hewan, liburan, pendidikan agama terkait dengan keyakinan Islam, dan lainnya. Hingga saat ini, kesepakatan hukum dengan komunitas atau asosiasi Muslim hanya tercapai di beberapa negara bagian. 

Kondisi yang terkadang skeptis atau bahkan memusuhi Islam membuat negosiasi yang lambat semakin sulit. Umat Muslim juga harus mengatur diri mereka sendiri agar didengar, misalnya, dengan mendirikan asosiasi negara atau dewan Syura, menyusun kebijakan keanggotaan, menyediakan titik kontak yang transparan dan mengembangkan struktur dasar yang sesuai dengan kriteria untuk pengakuan dan kerja sama hukum. 

Pakar studi Islam, Anne Schonfeld, mengkritik tekanan untuk menyesuaikan diri dan keharusan untuk bersatu yang terkait dengan kebijakan negara dalam mengakui Muslim.

"Kebijakan pengakuan tidak hanya memiliki efek afirmatif pada mereka yang ingin diakui. Itu juga mengubah citra diri mereka. Dan itu juga selalu menjadi masalah peraturan negara dan pengelolaan agama. Orang harus jelas tentang ini," kata Schonfeld.

Artinya, keragaman dan kemandirian kehidupan beragama Muslim di Jerman harus distandardisasi sampai batas tertentu, demi pengakuan. 

Di samping itu, mantan Menteri Kehakiman dan Perlindungan Konsumen Federal, Heiko Maas menginginkan perjanjian dengan Muslim. Maas melihat ini sebagai langkah penting dalam mendekatkan komunitas Muslim ke negara konstitusional dan nilai-nilainya dan mengembangkan Islam Jerman. 

Sebagai gantinya, bagaimanapun, Muslim diminta untuk melakukan bagian mereka untuk mendapatkan pengakuan oleh negara dan masyarakat. Mereka harus mengatur keanggotaan mereka dengan lebih baik, dan perkumpulan harus diwajibkan untuk menjaga jarak secara teratur dari ekstremisme dan anti-Semitisme di kalangan Muslim. 

Bagi asosiasi Islam, banyak hal bergantung pada pengakuan hukum organisasi. Mereka sering berharap bahwa pengakuan ini akan membawa serta revaluasi sosial.

Sumber: https://en.qantara.de/content/islam-in-germany-the-long-road-to-legal-recognition   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement