Sabtu 29 Aug 2020 02:45 WIB

Mesra dengan Israel, OKI dan Liga Arab Bubar Jalan?

Kalau sudah sepakat untuk tidak sepakat, untuk apa gunanya OKI dan Liga Arab.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nashrullah*

“Will we also protest against Turkey and China tomorrow because these two countries also have diplomatic relations with Israel? Will we now also protest against Iran for its close relations with India?  At this critical stage, we should be concerned about our country own challenges. It is not a wise approach by our religious parties to be angry at the UAE for its independent decision at this critical juncture when Saudi Arabia has already been offended by the government.”

Kutipan tersebut merupukan cuplikan pamungkas esai Saleem Safi berjudul ‘’Israel, Pakistan, and the Muslim World’’ yang dipublikasikan The News. Saleem hendak memetakan peta hubungan negara-negara Islam dengan Zionis Israel. Dalam kerangka esai yang dia tulis, Saleem menyatakan bahwa membaca peta tersebut harus mendudukkan kepentingan strategis yang hendak dibidik masing-masing negara, dalam konteks hubungan mereka dengan Israel.

Ada kalkulasi untung dan rugi, mudharat manfaat, dan petaka dan keamanan yang menjadi barometer dalam menentukan apakah para pemimpin negara-negara Islam itu memutuskan mesra atau tidak dengan Israel.

Saya masih teringat betul bagaimana mantan presiden Mesir Hosni Mubarak, yang wafat 25 Februari lalu, dalam setiap pidato kenegaraannya yang disiarkan langsung televisi-televisi Mesir (mirip televisi era Soeharto dulu) selalu menekankan satu pertimbangan mendasar yaitu hifz ‘ala amnina al-wathani, bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri yang diambil Mubarak selalu mengedepakankan keamanan nasional.

Mubarak sangat memahami faktor keamanan internal negara adalah urusan yang tak bisa ditawar. Konfrontasi dengan Israel hanya akan membuat keamanan dan kepentingan nasional Mesir terganggu. Inilah mengapa Mubarak selama kepemimpinannya tak berani bergesekan dengan Israel, sebagaimana pendahulunya Gamal Abdel Nasir, dan lebih mempertahankan  jejak hubungan diplomatik dengan Israel yang dibangun Anwar Sadat pada 1980 dalam Perjanjian Camp David,  

Dalam konteks Uni Emirat Arab, negara petro dolar ini memulai hubungan diplomatik dengan Israel melalui mediasi Amerika Serikat, ini tampaknya merupakan langkah awal dari pergeseran kebijakan strategis di dunia Arab. Ini juga merupakan kenyataan bahwa kepentingan nasional adalah kekuatan penuntun dari kebijakan luar negeri, hubungan dan keterlibatan setiap negara.  Amerika Serikat juga menekan negara-negara Arab di Timur Tengah untuk meningkatkan hubungan dengan Israel. Dengan demikian, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab serta lainnya telah memutuskan untuk mengurangi permusuhannya dengan Israel karena tekanan Amerika Serikat dan permusuhannya dengan Iran dan Turki.

Mengggunakan kerangka yang sama pula saat kita membaca mengapa Turki, sebagai negara mayoritas Muslim pula, justru lebih awal yang mengakui Israel pada 1949. Hubungan diplomatik Turki dengan Israel tetap utuh dan bersahabat bahkan setelah Recip Tayyip Erdogan menjadi perdana menteri. Pada 2005, Erdogan mengunjungi Israel bersama dengan sekelompok besar pengusaha, bertemu dengan perdana menteri Israel Ariel Sharon, meletakkan karangan bunga di peringatan Holocaust. 

Saat itu Erdogan menyebut ambisi nuklir Iran sebagai ancaman tidak hanya bagi Israel tetapi juga bagi seluruh dunia. Untuk membalasnya, Ariel Sharon mengunjungi Turki pada 2007 dan mendapat kehormatan untuk berpidato di Majelis Agung Nasional Turki.

Namun, hubungan antara Turki dan Israel memburuk setelah serangan terhadap armada Gaza yang dilakukan pasukan Israel pada 2010, dan tetap tegang selama beberapa tahun. Hubungan diplomatik kedua negara menjadi normal pada 2016 sebagai hasil dari pertemuan rahasia. Meski Turki mengancam akan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Israel ketika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017, sejauh ini hubungan diplomatik Turki dengan Israel masih utuh. 

Di masa lalu, Turki juga berusaha menjadi penengah antara Palestina dan Israel. Bahkan pertemuan antara menteri luar negeri Pakistan saat itu Khurshid Mahmoud Kasuri dan pejabat Israel selama era Musharraf diadakan sesuai keinginan dan mediasi kepemimpinan Kemal Attaturk.

Sementara itu, Yordania, menandatangani perjanjian dengan Israel pada 1994 dengan mediasi Presiden AS Bill Clinton. Perjanjian ini membuka jalan untuk menutup hubungan perdagangan dan membuka beberapa titik penyeberangan di perbatasan bagi wisatawan. Sementara Suriah dan Lebanon adalah dua negara tetangga di mana Israel sekarang memiliki hubungan yang tegang.  Tetapi kedua negara Muslim tersebut, Suriah, dan Lebanon, telah jatuh ke dalam kekacauan internal dan perang saudara sehingga tidak dapat memberikan ancaman apa pun kepada Israel. Namun, Qatar adalah satu-satunya negara di dunia Arab yang memiliki hubungan yang sangat tegang dengan Israel.

Kendati demikian, upaya Amerika Serikat melakukan pendekatan ke sejumlah negara Islam untuk melakukan normalisasi hubungan bukan perkara mudah. Arab Saudi secara tegas menolak, meski juga masih setengah hati di saat yang sama dengan pembelaaan terhadap perjuangan Palestina. Ada Hamas di sana dengan latarbelakang Ikhwanul Muslimin yang masih menjadi organisasi terlarang hingga sekarang di negara Raja Salman itu.

Sejumlah negara juga menyatakan perlawanan tegas mereka terhadap Israel.  Di antaranya Indonesia, Pakistan, Aljazair, Bahrain, Cambridge, Djibouti, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Mauritania, Maroko, Oman, Qatar, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, Yaman, Afghanistan, Bangladesh, Brunei, Iran, Malaysia, Mali, Nigeria tidak menerima Israel sebagai negara yang sah dan karenanya tidak mengakui Israel. Tiga negara non-Muslim seperti Bhutan, Kuba dan Korea Utara, juga tidak mengakui Israel.

Menjadi pekerjaan rumah yang tak sederhana bagi negara-negara Islam, baik yang tergabung dalam Liga Arab ataupun Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Membela kepentingan domestik negara atau harus tunduk tekanan Amerika Serikat-Israel. Ketidaksepakatan tersebut yang menjadi indikator desakan agar Liga Arab ataupun OKI bubar jalan saja, karena mereka sepakat untuk tidak sepakat. Lantas apa guna?    

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement