Sabtu 29 Aug 2020 13:41 WIB

Survei: Islamofobia Turun Saat Muslim-Non-Muslim Bertetangga

Non-Muslim tinggal di wilayah banyak Muslim lebih sedikit mengalami islamofobia.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ani Nursalikah
Survei: Islamofobia Turun Saat Muslim-Non-Muslim Bertetangga.  Anggota komunitas Muslim pergi setelah merayakan liburan Islam Idul Adha di Masjid Auburn Gallipoli di Sydney, Australia, 31 Juli 2020. New South Wales telah memberikan pengecualian bagi 400 orang untuk berkumpul di sebuah masjid di Sydney barat untuk merayakan Idul Fitri Idul Adha adalah yang paling suci dari dua hari libur Muslim yang dirayakan setiap tahun, itu menandai ziarah tahunan Muslim (Haji) untuk mengunjungi Mekah, tempat paling suci dalam Islam. Muslim menyembelih hewan kurban dan membagi daging menjadi tiga bagian, satu untuk keluarga, satu untuk teman dan kerabat, dan satu untuk orang miskin dan yang membutuhkan.
Foto: EPA-EFE/JOEL CARRETT
Survei: Islamofobia Turun Saat Muslim-Non-Muslim Bertetangga. Anggota komunitas Muslim pergi setelah merayakan liburan Islam Idul Adha di Masjid Auburn Gallipoli di Sydney, Australia, 31 Juli 2020. New South Wales telah memberikan pengecualian bagi 400 orang untuk berkumpul di sebuah masjid di Sydney barat untuk merayakan Idul Fitri Idul Adha adalah yang paling suci dari dua hari libur Muslim yang dirayakan setiap tahun, itu menandai ziarah tahunan Muslim (Haji) untuk mengunjungi Mekah, tempat paling suci dalam Islam. Muslim menyembelih hewan kurban dan membagi daging menjadi tiga bagian, satu untuk keluarga, satu untuk teman dan kerabat, dan satu untuk orang miskin dan yang membutuhkan.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Serangan 11 September pada 2001 di Amerika Serikat mengubah posisi Muslim di dunia. Apalagi dengan kemunculan ISIS yang justru meningkatkan ketakutan dunia barat pada Muslim.

Dari laporan terakhir soal islamofobia di Australia, Muslim terus menjadi target kekerasan dan penghinaan. Atas dasar itu, Val Colic-Peisker dan Adrian Flitney dari Universitas RMIT mengadakan penelitian mengenai relasi non-Muslim dan Muslim serta hubungannya dengan islamofobia. 

Baca Juga

Penelitian dilakukan dengan survei terhadap 1.020 orang, sebagian di area perkotaan Sydney dan Melbourne. Responden diberi sejumlah pernyataan seperti jumlah Muslim di Australia terlalu banyak, saya khawatir Muslim membuat kantung masyarakat di Sydney dan Melbourne, serta saya tak menyukai Muslimah pakai penutup kepala.

Para responden diminta memberi respons setuju atau tidak setuju terhadap sejumlah pernyataan itu dengan skala 1-5. Nilai dari skala itu dijadikan skor islamofobia. Semakin rendah skornya maka makin turun islamofobianya.

Keduanya mendapati non-Muslim yang tinggal di wilayah dimana banyak Muslimnya cenderung lebih sedikit mengalami islamofobia. Hal itu berbanding terbalik terjadi dalam populasi Sydney dan Melbourne yang lebih sedikit Muslimnya.

"Ini menandakan hidup berdampingan antara Muslim dan non-Muslim bisa menjadi obat islamofobia. Ini menjadi bukti teori kontak dimana biasanya kontak antarmanusia dengan latar belakang berbeda mengurangi prasangka buruk," kata Flitney dilansir dari The Conversation, Jumat (28/8).

 Penelitian Flitney dan Val melawan Teori Ancaman yang menyebut hubungan antarindividu dari latar belakang berbeda bisa meningkatkan perasaan ancaman dan kecemasan dalam kondisi tertentu. Temuan keduanya menyatakan warga Sydney lebih sedikit perilaku islamofobianya (skor 2,18) dibanding warga Melbourne (2,32). Ini disebabkan Muslim lebih terkonsentrasi di sebelah barat Sydney. Sedangkan Muslim di Melbourne cenderung lebih tersebar secara demografis.

"Ini kembali menekankan Teori Kontak yang mana lebih banyak kontak dengan minoritas akan mengurangi prasangka buruk," ujar Val.

Dari segi usia, penelitian Val dan Flitney menemukan semakin muda maka semakin rendah islamofobianya. Mereka yang berusia 18-32 tahun skornya 2,32 dibanding yang berusia 65 tahun ke atas skornya 2,8. Ini menandakan prasangka meningkat seiring bertambahnya usia. 

Kemudian individu yang mengeyam pendidikan formal lebih banyak cenderung lebih sedikit mengalami islamofobia. Individu dengan pendidikan perkuliahan skornya 2,47 dibanding yang tak kuliah skornya 2,9.

"Ini bisa dipengaruhi perilaku sosial, kurikulum sekolah, kampus yang mengalami perubahan signifikan dalam dekade terakhir," ujar Val.

Flitney mendefinisikan islamofobia sebagai perilaku negatif atau kecenderungan emosi pada Islam atau Muslim. Ia menilai warga Australia cenderung sangat sedikit mengetahui tentang Islam. Stigma Muslim bagi mayoritas warga Australia ialah terbelakang, penuh kekerasan dan penekanan gender.

Flitney memantau islamofobia didasarkan mayoritas warga Australia pada penampilan Muslim, misalnya mengenakan jilbab dan cadar. Mereka menganggap Muslim terlalu tradisional dan terlalu serius dalam masyarakat yang sekuler.

Padahal Muslim tak hanya terdiri dari satu kelompok masyarakat saja. Muslim terdiri atas masyarakat dengan latar belakang ekonomi dan budaya berbeda-beda. Seorang Sosiolog Riaz Hassan mencatat pada 2018 bahwa 37 persen Muslim di Australia merupakan warga keturunan. Sedangkan Muslim sisanya berasal dari 183 negara lain.

Dalam sensus pada 2016, lebih dari 600 ribu orang teridentifikasi sebagai Muslim. Sepertiga dari mereka tinggal di Sydney dan Melbourne.

"Mereka cenderung berpusat di permukiman pinggiran kota dimana mereka juga bisa mendapat akses pekerjaan, sekolah dan tempat beribadah," ujar Flitney.

Penelitian Val dan Flitney menyimpulkan Australia bukanlah negara terburuk dalam hal perlakuan pada Muslim. Sebab dalam survei 2015, hanya 10 persen orang Australia yang sangat islamofobia. Jumlah Muslim di Australia diperkirakan hanya 2,6 persen dari populasi.

Penelitian ini juga menyoroti pemberitaan media dan aksi sebagian politikus justru menimbulkan islamofobia. Dianjurkan mereka agar tak menimbulkan perpecahan dengan pernyataan bernada menyerang Muslim demi mengurangi islamofobia.

"Cara penting melawan islamofobia adalah memiliki lebih banyak Muslim untuk tinggal di dekat non-Muslim. Dengan begitu maka dapat memahami keyakinan Muslim dan cara hidupnya," kata Val dan Flitney. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement