Selasa 01 Sep 2020 22:58 WIB

Halalkah Mengonsumsi Kepiting?

Tak sedikit Muslim yang mempertanyakan status kehalalan kepiting.

Halalkah Mengkonsumsi Kepiting? (ilustrasi).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Halalkah Mengkonsumsi Kepiting? (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bagi penyuka seafood, kepiting tentu bukan sesuatu yang asing. Bahkan, bisa jadi kepiting merupakan menu favorit. Dari sisi cita rasa, daging kepiting memang sangat lezat. Hanya saja, tak sedikit Muslim yang mempertanyakan status kehalalan kepiting. Maklum, banyak yang mengira kepiting termasuk hewan yang hidup di dua alam dan beracun pula. Anda juga mempertanyakannya?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya telah menerbitkan fatwa mengenai hal ini. Intinya, MUI menyatakan kepiting halal, kecuali yang beracun. Pada rapat Komisi Fatwa MUI, 15 Juni 2002,  Dr Sulistiono, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, menjelaskan, ada empat jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla pararnarnosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut 'kepiting'.

Dalam makalah berjudul "Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp)", yang disampaikan waktu itu, Sulistiono mengatakan, kepiting adalah jenis binatang air karena bernapas dengan insang, berhabitat di air, dan tidak akan mengeluarkan telur di darat melainkan di air karena ia memerlukan oksigen dari air.

Kepiting, termasuk keempat jenis di atas, ada yang hidup di air tawar saja, di air laut saja, dan hidup di air laut dan tawar. "Jadi, tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam (laut dan darat)," ujar Sulistiono.

Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa kepiting ini beracun? Nah, ini juga perlu diluruskan. Sebagian besar jenis kepiting justru tidak beracun, kecuali kepiting kelapa yang banyak ditemukan di perairan Maluku.  Di sisi lain, seperti dikatakan pakar pangan halal Dr H Anton Apriyantono, tidak ada satu nas pun, baik dari Alquran maupun hadis, yang mengharamkan hewan yang hidup di dua alam.

Yang ada adalah pengharaman kodok, yang kebetulan hidup di dua alam. Mungkin, kata Anton, para ulama terdahulu menyimpulkan keharaman hewan yang hidup di dua alam berdasarkan qiyas (logika kesetaraan) terhadap kodok dan hewan buas seperti buaya yang menurut pemahaman mereka hidup di dua alam.

Komisi Fatwa MUI pun, kata Anton, telah melakukan kajian mengenai status kehalalan hewan yang hidup di dua alam. Kesimpulannya, tidak ada dasar nas yang mengharamkan hewan yang hidup di dua alam. "Itu sebabnya, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa bahwa kepiting itu halal," kata Anton yang pernah menjadi anggota Tim Penyempurnaan SK Menteri Agama tentang pedoman pemeriksaan kehalalan makanan.  

Sebetulnya, lanjut mantan menteri pertanian ini, tidaklah tepat alasan kepiting haram  dikarenakan punya capit. "Bagaimana dengan ikan lele yang punya patil?" ucapnya retoris.

Dalam surah al-A'raf ayat 157 disebutkan, Allah mengharamkan makanan yang khabaits (buruk dan menjijikkan). Nah, atas dasar inilah kemudian Imam Syafii mengharamkan kepiting, penyu, dan lain-lain, sebagaimana termaktub dalam buku Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.

Tapi, menurut Anton, masalah khabaits ini juga masih bisa diperdebatkan. Sebab, sebagian besar orang tidak memandang kepiting sebagai makanan yang khabaits. Itulah sebabnya, Komisi Fatwa MUI menghalalkannya. "Lagi pula, definisi hewan yang hidup di dua alam juga masih diperdebatkan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement