Sabtu 05 Sep 2020 04:17 WIB

Ketika Goethe Kagum pada Nabi Muhammad

Nabi Muhammad mencontohkan sikap toleransi dan tidak mudah marah meski disakiti.

Rep: umar mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
Ketika Goethe Kagum pada Nabi Muhammad
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ketika Goethe Kagum pada Nabi Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad sebagai pembawa rahmat dikenal memiliki rasa toleransi luar biasa. Contoh sikap tersebut misalnya, pernah seorang Badui pernah memasuki masjid dan buang air kecil di dalamnya. Masjid pada masa itu tidak memiliki dinding dan lantai berkarpet dan langit-langitnya terbuat dari daun palem yang ditopang oleh batang pohon palem. Orang-orang lari mencegah dan menahannya. Lantas Nabi berkata:

"Jangan menghentikan buang air kecilnya (biarkan dia selesai). Kemudian Nabi meminta satu kendi berisi air untuk dituangkan di atas tempat kencing. (HR Bukhari)

Baca Juga

Salah satu tetangga Nabi adalah seorang Yahudi yang membenci Nabi. Setiap hari dia membuang sampah dalam perjalanannya dan Nabi tidak pernah menegurnya. Suatu hari, orang Yahudi itu tidak muncul. Nabi bertanya tentang dia, dan diberi tahu dia sakit. Lalu dia pergi mengunjunginya dan menanyakan tentang kesehatannya dengan kebaikan. Melihat hal ini, orang Yahudi itu memeluk Islam.

Hamzah adalah salah satu paman tercinta Nabi. Dalam salah satu pertempuran, Hindun, istri Abu Sufyan, musuh bebuyutan Nabi, memerintahkan budaknya untuk mencari Hamzah dan menusuknya dengan panah. Setelah melihatnya meninggal, Hindun bergegas ke tubuhnya dan memotong hatinya dan mulai mengunyahnya dengan penuh amarah. Setelah penaklukan Makkah, Nabi tidak membalas dendam padanya dan menerima dia dan suaminya sebagai mualaf baru dan memberi mereka perlindungan penuh.

Anas bin Malik, yang melayani Nabi selama sepuluh tahun, berkata bahwa Nabi tidak pernah menegurnya. "Ketika saya melakukan sesuatu, dia tidak pernah mempertanyakan cara saya melakukannya. Dan ketika saya tidak melakukan sesuatu, dia tidak pernah mempertanyakan kegagalan saya untuk melakukannya. Dia adalah yang paling baik dari semua pria. (HR Bukhari)

Sikap toleransi seperti itu membuatnya dihormati bahkan oleh musuh-musuhnya. Dan para pengikutnya berdiri di sisinya melewati segala macam kesulitan. Meski yang menjadi musuh pada awalnya adalah orang-orang Arab Makkah, tetapi di Madinah, orang-orang Yahudi tidak menyia-nyiakan upaya untuk bersekongkol melawannya, bahkan setelah perjanjian ditandatangani. Namun, Nabi Muhammad mencoba untuk bersikap seadil mungkin dengan mereka dan hanya berperang melawan mereka jika mereka melanggar perjanjian yang mengorbankan banyak nyawa Muslim.

Karena Nabi Muhammad ingin menghindari perang dengan segala cara, dia berusaha untuk mencapai kesepakatan damai antara dia dan Makkah. Setelah upaya besar di pihaknya, non-Muslim menyetujui perjanjian damai sepuluh tahun, yang dirancang dan ditandatangani di Hudaibiyah, sebuah tempat di luar Makkah.

Dalam pertemuan penting ini, orang Makkah bersikeras melakukan sejumlah tindakan yang sangat provokatif. Misalnya, semula perjanjian tersebut menyebutkan nama Nabi sebagai "Muhammad Rasulullah." Mereka bersikeras untuk menggantikan dengan "putra Abdullah". Nabi pun menerima dengan damai dan menghapus sebutan itu.

Demikian pula, mereka membuat syarat bahwa jika mereka dapat menyentuh seorang Muslim, mereka akan menjadikannya sandera. Tetapi jika Muslim berhasil menahan seorang non-Muslim, mereka harus membebaskannya. Nabi bahkan mengalah pada poin ini untuk pembentukan perdamaian di wilayah tersebut. Dia dengan jelas memberikan contoh keadilan dan toleransi sementara dihadapkan pada ketidakadilan dan intoleransi.

Orang Makkah saat itu kemudian melanggar perjanjian yang sama yang mereka tandatangani sebelumnya. Saat itulah Nabi akhirnya berbaris dengan pasukannya yang besar ke Makkah dan tanpa perlawanan apa pun menaklukkan kota yang pernah menjadi tempat tinggal musuh-musuhnya itu. Seperti disebutkan sebelumnya, Nabi dan para pengikutnya sangat menderita selama tiga belas tahun berada di Makkah. Orang sukunya sendiri dan bahkan anggota keluarganya, terus menentangnya tidak hanya di Makkah tetapi juga bangkit untuk melawannya di Madinah selama lebih dari 20 tahun.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement