Sabtu 05 Sep 2020 13:20 WIB

Pandangan Syekh Yusuf Qaradhawi Soal Nama Asing untuk Anak

Syekh Yusuf Qaradhawi menjelaskan soal pemberian nama asing untuk anak.

Pandangan Syekh Yusuf Qaradhawi Soal Nama Asing untuk Anak. Foto: Ilustrasi Kaki Bayi
Foto: Pixabay
Pandangan Syekh Yusuf Qaradhawi Soal Nama Asing untuk Anak. Foto: Ilustrasi Kaki Bayi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa yang tidak gembira kala menyambut kelahiran si buah hati. Sebelum kelahiran pun, semua hal tentang si kecil sudah dipersiapkan. Mulai dari belanja baju bayi, menyiapkan kamar khusus, hingga menyurvei tempat yang paling cocok untuk melahirkan.

Tak ketinggalan juga, orang tua utamanya suami menyiapkan nama untuk sang buah hati. Di era teknologi, bahkan ada beberapa aplikasi digital yang menyediakan daftar nama untuk anak lengkap sesuai abjad dan maknanya.

Baca Juga

Memberikan nama yang baik adalah hak anak sekaligus kewajiban utamaa bagi sang ayah. Melihat kemajuan zaman dan akses teknologi yang luas, setiap orang tua memiliki preferensi tersendiri dalam menamai anak. Sebagai orang Indonesia yang memiliki budaya lokal, banyak orang tua yang menamai anak mereka dari bahasa Arab. Dan, kini berkembang dengan mengambil nama dari bahasa-bahasa asing lainnya? Bolehkah menamai anak dengan bahasa asing?

Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf Qaradhawi, menilai tidak terlarang menggunakan nama asing untuk anak sepanjang maknanya baik. Contoh paling dekat dalam kasus ini adalah istri Nabi SAW yang melahirkan Ibrahim bernama Mariyah al-Qibthiyyah atau yang terkenal dengan nama Qibthi al-Mishri dari Mesir.

Syekh Qaradhawi menjabarkan dalam nama-nama sahabat dan tabiin pun didapati beberapa nama yang merupakan nama tumbuh-tumbuhan. Seperti Thalhah, Salmah, dan Hanzhalah. Atau juga nama yang merupakan benda mati, seperti Bahr, Jabal, dan Shakr.

Yang jauh lebih penting adalah nama tersebut mestilah nama yang baik dan tidak membuat sang anak kecewa saat ia mengerti kelak. Jangan sampai memberikan nama asing, tapi artinya adalah sesuatu yang hina, bernada pesimistis, atau nama-nama orang jahat dan pendurhaka. Nabi SAW bahkan tak segan-segan mengganti nama-nama yang terkesan buruk. Orang yang bernama Ashiyah (wanita durhaka) diganti dengan Jamilah (wanita cantik).

Menurut Syekh Qaradhawi, ada beberapa adab dalam Islam saat akan memberikan nama pada anak. Pertama, dia tidak boleh menggunakan nama Abd atau Abdul yang disandarkan kepada selain Allah. Misal Abdul Ka'bah, Abdul Nabi. Ibnu Hazm menegaskan sudah menjadi ijma' ulama untuk menghindari nama Abdul kepada selain Allah kecuali Abdul Muthalib.

Juga tidak boleh memberi kesan kesombongan dan tinggi hari pada nama tersebut. Rasulullah SAW bersabda, "Sehina-hina nama di sisi Allah pada hari kiamat ialah orang yang bernama dengan raja diraja. Tidak ada raja selain Allah," (HR Bukhari Muslim).

Tidak boleh juga menggunakan nama yang merupakan sifat Allah tanpa tambahan Abdul. Termasuk di dalamnya nama-nama yang dikhususkan untuk Allah dalam bentuk ma'rifah (menggunakan al-) seperti al-Azis, al-Hakim, dan sebagainya. Namun, jika menggunakan sifat tersebut dalam bentuk nakirah (tanpa al-) diperbolehkan, seperti Ali, Hakim, Rasyid, dan sebagainya.

Disukai juga menggunakan nama-nama para nabi dan salihin untuk meneladani mereka. Sementara, nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdur Rahman. Seperti yang diterangkan dalam hadis riwayat Muslim, ada lebih dari 300 sahabat yang menggunakan nama Abdullah.

Nama Muhammad sebagai nama anak pada awal mulanya diperdebatkan di kalangan Arab pada masa kenabian. Nama Muhammad boleh digunakan sebagai nama, tetapi tidak dengan nama kuniyah Beliau SAW.

Dalam sebuah hadis, Jabir bin Abdullah RA menceritakan, “Seorang lelaki dari kalangan kami baru memperolehi anak dan ia memberi nama anak itu ‘Muhammad’. Lalu, kaumnya berkata kepadanya ‘Kami tidak akan membiarkan kamu memberi nama dengan nama Rasulullah SAW'. Maka, lelaki ini pun pergi menemui Nabi  dan bertanya, ‘Ya Rasulullah, dilahirkan untukku anak dan aku menamakannya ‘Muhammad’, lalu kaumku berkata kepadaku, ‘Kami tidak akan membiarkan kamu menamakan dengan nama Rasulullah SAW’.”

Lantas Nabi menjawab, “Berilah nama dengan namaku, akan tetapi jangan memanggil dengan panggilanku (yakni Abul-Qasim) karena sesungguhnya aku adalah Qasim di antara kamu." (HR Muslim). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement