Senin 07 Sep 2020 05:38 WIB

Turki Sangat Prihatin Serbia Pindahkan Kedutaan ke Yerusalem

Relokasi kedubes negara mana pun ke Yerusalem adalah pelanggaran hukum internasional.

Pandangan umum lingkungan Palestina di Silwan di Yerusalem timur, terlihat pada hari Rabu, 1 Juli 2020. Para pemimpin Israel melukiskan Yerusalem sebagai model koeksistensi, ibu kota orang Yahudi yang bersatu, abadi, di mana kaum minoritas memiliki hak yang sama. Tetapi warga Palestina menghadapi diskriminasi yang meluas, sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan dan banyak yang hidup dalam ketakutan akan dipaksa keluar.
Foto: AP/Mahmoud Illean
Pandangan umum lingkungan Palestina di Silwan di Yerusalem timur, terlihat pada hari Rabu, 1 Juli 2020. Para pemimpin Israel melukiskan Yerusalem sebagai model koeksistensi, ibu kota orang Yahudi yang bersatu, abadi, di mana kaum minoritas memiliki hak yang sama. Tetapi warga Palestina menghadapi diskriminasi yang meluas, sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan dan banyak yang hidup dalam ketakutan akan dipaksa keluar.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Keputusan Serbia untuk memindahkan kedutaannya di Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem, melanggar hukum internasional dan sangat memprihatinkan.  Demikian ditegaskan oleh Kementerian Luar Negeri Turki, akhir pekan lalu.

Pada Jumat (4/9), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Serbia akan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem pada Juli tahun depan. Serbia menjadi negara Eropa pertama yang mengambil langkah tersebut, keputusan yang diperantarai oleh Amerika Serikat.

Baca Juga

AS sendiri merupakan negara pertama yang memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, yaitu pada 2018. Yerusalem adalah kota utama yang diperebutkan dalam konflik Israel-Palestina.

"Kami sangat prihatin dengan keputusan Serbia untuk memindahkan kedutaannya di Israel ke Yerusalem. Aneksasi Yerusalem oleh Israel ditolak oleh komunitas internasional dan PBB," kata Kemenlu Turki.

Kemenlu Turki menambahkan bahwa relokasi kedutaan besar negara mana pun di Israel ke Yerusalem jelas merupakan pelanggaran hukum internasional.

Pernyataan Turki itu mengutip beberapa resolusi PBB, yang menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina tidak memiliki solusi lain selain pengakuan atas negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai dengan perbatasan tahun 1967.

Yerusalem, yang diduduki oleh Israel selama Perang Enam Hari pada 1967, saat ini merupakan aspek yang tidak bisa ditawar-tawar bagi Palestina. Palestina menerapkan sikap yang sama terhadap wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Lembah Sungai Jordan, tempat Israel membangun permukiman.

Otoritas Israel telah menolak mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Israel juga menganggap perluasan pemukiman yang dilakukannya adalah tindakan sah, meskipun ada keberatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Washington akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Pemindahan itu berarti bahwa AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak terbagi. Kedutaan baru AS di Yerusalem dibuka setengah tahun kemudian.

Israel berharap langkah AS itu akan mendorong negara-negara lainnya melakukan relokasi kedutaan secara massal ke Yerusalem, pemikiran yang dianggap tabu --terutama di kalangan negara-negara Uni Eropa.

Sejauh ini, hanya Guatemala yang mengikuti jejak AS. Guatemala membuka kedutaan besar di Yerusalem pada 16 Mei 2018, dua hari setelah AS melakukan langkah serupa.

Sumber: Sputnik

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement