Senin 07 Sep 2020 16:41 WIB

Penceramah Bersertifikat yang Diklaim Bukan Sertifikasi Dai

Kemenag akan meluncurkan program Penceramah Bersertifikat pada akhir September 2020.

Penceramah Mamah Dedeh memberikan tausiyah kepada jamaah. Kemenag akan meluncurkan program Penceramah Bersertifikasi pada akhir September 2020. (ilustrasi)
Foto: Yasin Habibi
Penceramah Mamah Dedeh memberikan tausiyah kepada jamaah. Kemenag akan meluncurkan program Penceramah Bersertifikasi pada akhir September 2020. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zahrotul Oktaviani, Umar Mukhtar, Imas Damayanti, Fuji E Permana, Rossi Handayani, Febryan. A

Kementerian Agama (Kemenag) berencana meluncurkan program Penceramah Bersertifikat mulai akhir September 2020. Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Kamaruddin Amin, menyebut program ini didesain dengan melibatkan banyak pihak.

Baca Juga

"Rencana launching tanggal 17 september. Pelaksanaannya sekitar minggu akhir bulan ini," ujar Kamaruddin Amin, saat dihubungi Republika, Ahad (6/9).

Kamaruddin menegaskan, program ini bukanlah sertifikasi profesi.

"Penceramah bersertifikat ini bukan sertifikasi profesi, seperti sertifikasi dosen dan guru. Kalau guru dan dosen itu sertifikasi profesi sehingga jika mereka sudah tersertifikasi maka harus dibayar sesuai standar yang ditetapkan," ujar Kamaruddin Amin dalam keterangan yag diterima Republika, Senin (7/9).

Ia menyebut, tujuan program Penceramah Bersertifikat untuk meningkatkan kapasitas penceramah. Setelah mengikuti kegiatan, para penceramah ini nantinya akan diberi sertifikat.

Adapun, keberadaan program ini juga disebut seperti program peningkatan kapasitas penyuluh agama dan penghulu, yang sebelumnya dilakukan Dirjen Bimas Islam. Saat ini, tercatat ada sekitar 50ribu penyuluh dan 10ribu penghulu di Indonesia.

Untuk mengoptimalkan layanan, puluhan ribu orang ini secara bertahap ditingkatkan kapasitasnya di bidang literasi tentang zakat, wakaf, moderasi beragama. Setelah mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas, mereka mendapatkan sertifikat.

"Ini sertifikasi biasa yang tidak berkonsekuensi apa-apa. Kerena bukan sertifikasi profesi, sehingga tidak berkonsekuensi wajib atau tidak. Bukan berarti yang tidak bersertifikat tidak boleh berceramah, atau yang boleh berceramah hanya yang bersertifikat. Sama sekali tidak begitu," lanjutnya.

Selanjutnya, ia menyebut program ini merupakan kegiatan biasa dengan tujuan memberikan afirmasi kepada penceramah Indonesia. Kemenag ingin memperluas wawasan mereka tentang agama dan ideologi bangsa.

"Jadi ini bukan sertifikasi, tapi penceramah bersertifikat," kata dia.

Penceramah bersertifikat disebut berlaku untuk penceramah dari semua agama, namun program ini tidak bersifat mengikat. Dalam pelaksaannya, Kemenag berperan sebagai fasilitator dan koordinator.

Beberapa instansi yang diikutsertakan dalam perencanaan program. Antara lain Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas keagamaan lainnya.

Lemhanas dilibatkan untuk memberikan penguatan pada aspek ketahanan ideologi. Sementara keterlibatan BNPT, diperlukan untuk berbagi informasi tentang fenomena yang sedang terjadi di Indonesia dan seluruh dunia.

BPIP berfungsi memberikan pemahaman tentang Pancasila, hubungan agama dan negara. Sementara MUI dan ormas keagamaan adalah lembaga otoritatif dalam penguatan di bidang Agama.

Kamaruddin juga menyebut program Penceramah Bersertifikat ini merupakan arahan Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin, yang juga Ketua Umum MUI. Untuk tahun ini, target peserta program adalah 8.200 penceramah. Terdiri dari 8.000 penceramah di 34 provinsi dan 200 penceramah di pusat.

Staf Khusus Wakil Presiden Ma'ruf Amin Bidang Komunikasi dan Informasi, Masduki Baidlowi menjelaskan bedanya sertifikasi dai dan dai bersertifikat. Dia mengatakan, dai bersertifikat itu pilihan, bukan keharusan.

"Ibarat orang mau mengikuti tes, orang bisa ikut tes, enggak juga enggak apa-apa. Orang yang tidak ikut tes, enggak masalah, tetap saja dia bisa berjalan dengan kemampuan yang selama ini dimiliki. Jadi dai bersertifikat ini pilihan," tutur dia kepada Republika, Senin (7/9)

Masduki kembali menerangkan, dai bersertifikat ibarat uji kompetensi yang menurutnya memang penting. Ilmu agama, menurutnya, sama dengan ilmu-ilmu yang lain sehingga seseorang yang menempuh ilmu itu harus mengerti duduk perkaranya.

"Kalau tidak mengerti, ya berbahaya. Dia menjadi dai tetapi tidak mengerti masalah, ini justru dalam hadis shahih Nabi SAW dikatakan sesat dan menyesatkan. Karena ini menyangkut persoalan ilmu agama, maka ada uji kompetensinya, yakni standarisasi dai itu," ucapnya.

Dai yang mengikuti program tersebut, lanjut Masduki, otomatis punya sertifikat dai. "Artinya uji kompetensinya sudah selesai, artinya tidak diragukan lagi. Diundang oleh siapapun, dia punya sertifikat sebagai seorang dai yang berkompeten, profesional, berintegritas, paham kebangsaan dan keagamaannya juga sudah paripurna," katanya.

Karena memang, terang Masduki, salah satu isi program dai bersertifikat itu bagaimana mereka paham agama dan kebangsaan.

"Itu isi dari sertifikasi dai. Yang enggak ikut silakan saja berdakwah sebagaimana biasanya," ujarnya.

Untuk sertifikasi dai, Masduki menjelaskan, itu ibarat berkendara yang harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Jika tidak punya maka ditilang polisi.

"Nah ini menjadi keharusan. Tetapi Wapres tidak menghendaki itu. Ini arahan wapres yang disampaikan kepada menteri agama waktu itu," tambahnya.

Masduki juga memaparkan, arahan lain yang diberikan Wapres Ma'ruf Amin kepada Menteri Agama Fachrul Razi terkait program dai bersertifikat, yaitu program tersebut tidak diselenggarakan sendiri oleh Kemenag. Wapres meminta Kemenag bekerja sama dengan ormas-ormas Islam.

"Bahkan sebenarnya karena keahliannya ada di MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan ormas-ormas Islam yang lain, ya sudah kasihlah biaya dalam kerja sama antara Kemenag dengan ormas Islam. Programnya dai bersertifikat. Kalau dilaksanakan sendiri, orang curiga," tambahnya.

Ditolak MUI dan ormas

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menolak rencana kebijakan pemerintah soal sertifikasi 8.200 penceramah atau dai. Menurutnya, kebijakan itu cenderung mendiskreditkan Islam.

"Melihat sikap dan cara pandang Menteri Agama yang selalu bicara tentang radikalisme yang ujung-ujungnya mendiskreditkan dan menyudutkan umat Islam, saya secara pribadi menolak dengan tegas rencana ini," kata Anwar melalui pesan teks kepada Republika, Sabtu (5/9).

Menurut Anwar, apabila hal ini terus dilaksanakan dengan dukungan para pemangku jabatan di MUI, maka begitu program tersebut diterima oleh MUI, dia mengundurkan diri tanpa kompromi.

"Jika teman-teman saya menerima ikut terlibat dalam mensertifikasi itu, maka ketika itu juga saya Anwar Abbas tanpa kompromi  menyatakan diri mundur sebagai Sekjen MUI," ujarnya.

Pernyataan sikapnya ini, lanjutnya, akan disampaikan sebagai pertanggung jawaban pribadinya kepada Allah SWT dan kepada umat Islam di Indonesia untuk diketahui.

Sekretaris Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, KH Ahmad Zubaidi mengakui, pernah terjadi pertemuan antara Kemenag dan MUI, namun pembicaraannya belum sampai ke tahap kerja sama dalam program dai bersertifikat. Pertemuan tersebut baru sampai tahap memberikan pandangan.

"Usul dari MUI sertifikasi dai (program standardisasi kompetensi da'i) dilakukan MUI, itu usul kami dari MUI jadi Kemenag menyerahkan (program standardisasi kompetensi dai) ke kami, Kemenag mendukung saja," kata Ahmad kepada Republika, Jumat (4/9).

Ahmad berpandangan, MUI jelas lebih independen dan berpengalaman untuk menjalankan program standardisasi kompetensi dai. Sebab kalau program dai bersertifikasi dilakukan Kemenag akan menjadi tidak independen, nanti akan muncul istilah dai pemerintah.

Ahmad mengingatkan, para dai tidak digaji oleh pemerintah, tapi nanti mereka akan dilabeli atau dicap sebagai dai pemerintah oleh sebagian masyarakat. Karena, mereka mengikuti program dai bersertifikasi yang diselenggarakan Kemenag.

"Yang kompeten dan independen dalam menjalankan program standarisasi kompetensi dai adalah MUI yang menjadi tempat berkumpulnya puluhan ormas-ormas Islam," ujarnya.

Kiai Ahmad mengatakan, program standarisasi kompetensi dai sebaiknya dilakukan oleh MUI saja. Tetapi, jika Kemenag mau menyelenggarakan program da'i bersertifat, MUI mempersilakan dan MUI tetap melaksanakan program standardisasi kompetensi da'i yang sudah berjalan.

Ketua Umum Ikatan Dai se-Indonesia (Ikadi) Ahmad Satori menilai, niat mensertifikasi dai atau penceramah agama tidak tepat. Niat mensertifikasi dai agar menekan radikalisme di Indonesia pun dianggap salah kaprah.

"Kalau itu (menekan radikalisme) tujuannya, menurut saya kurang tepat," kata Ahmad Satori saat dihubungi Republika, Rabu (3/9).

Menurutnya, radikalisme dalam konotasi negatif tidak layak disandingkan dengan agama tertentu. Dai ataupun penceramah agama yang baik tentunya telah mengetahui ilmu-ilmu serta ajaran agama yang dapat menghasilkan manfaat kepada orang banyak.

Lebih spesifik menurutnya, seorang Muslim yang mengtahui ajaran Islam secara baik dan utuh pasti tidak akan bersikap radikal ke dalam hal-hal yang bersifat negatif. Sehingga, upaya menekan radikalisme dalam ceramah para dai dan penceramah agama telah keliru dari awal niatnya.

PP Muhammadiyah menilai program sertifikasi Kemenag bagi penceramah sesuai bagi dai formal yang digaji oleh pemerintah. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad.

"Ya sertifikasi penceramah itu cocok bagi penceramah formal yang digaji negara, seperti penyuluh agama atau tokoh agama yang berstatus PNS," kata Dadang, pada Ahad (6/9).

Namun menurut Dadang, bagi penceramah dari ormas islam atau penceramah swasta tidak perlu untuk sertifikasi. Hal ini karena mereka berceramah sebagai panggilan agama untuk menyampaikan pengetahuan agama kepada jamaahnya.

"Sebagai perintah agama untuk saling menasehati atau berwasiat dalam kebenaran tidak usah punya sertifikat," kata dia.

Berbeda dengan yang lin, Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas justru setuju dengan rencana Kemenag mensertifikasi penceramah. Alasanya, karena program tersebut bertujuan meningkatkan kompetensi para dai.

"Kalau peningkatan kompetensi sih, bagus saja. Penceramah memang harus menguasai ilmu yang diceramahkan, tidak cuma pakai logika dan bicara ngawur," kata Gus Yaqut ketika dihubungi Republika, Senin (7/9).

Ia pun meminta agar hasil dan penilaian sertifikasi penceramah itu nantinya dibuka ke publik. Tujuannya sebagai acuan bagi publik dalam mengundang penceramah.

"Agar publik juga bisa menilai penceramah mana yang layak diundang berceramah, mana yang tidak," ungkapnya.

Gus Yaqut mengaku tak setuju dengan pandangan sejumlah pihak yang menilai program ini bertujuan menjaring dai propemerintah. "Bangsa ini terlalu lama dikuasai prasangka buruk. Semua kebijakan selalu diprasangkai," ucapnya.

photo
Syarat Mendapat Sertifikasi Halal Gratis - (republika.co.id/antara)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement