Selasa 08 Sep 2020 08:23 WIB

Afrika Selatan Perketat UU Kekerasan Berbasis Gender

Afrika Selatan memiliki kasus pemerkosaan dan KDRT tertinggi di dunia

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
(ilustrasi) peta Afrika Selatan
Foto: tangkapan layar google map
(ilustrasi) peta Afrika Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, mengatakan bahwa negaranya akan memperketat undang-undang tentang kekerasan berbasis gender dan pelanggaran seksual yang telah meluas di negara itu, Senin (7/9). Upaya itu untuk menutup celah yang sering digunakan pelaku dalam menghindari hukuman penjara.

Ramaphosa, warga Afrika Selatan merasa frustrasi karena hukuman seringkali tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak-anak. "Tiga RUU amandemen dirancang untuk mengisi celah yang memungkinkan beberapa pelaku kejahatan untuk menghindari keadilan dan untuk memberikan efek penuh pada hak-hak perempuan dan anak-anak negara kita," katanya.

Baca Juga

Langkah pertama, pemerintah akan melakukan amandemen pada Undang-Undang Pidana (Pelanggaran Seksual dan Hal Terkait). Penambahan akan dilakukan dengan menciptakan pelanggaran baru intimidasi seksual, memperluas cakupan pelanggaran inses, dan memperluas tugas pelaporan dari orang-orang yang mencurigai pelanggaran seksual telah dilakukan terhadap seorang anak.

Selain itu, ada daftar publik untuk pelanggar seks dengan semua keterangannya. Ramaphosa mengatakan, RUU Perubahan Pidana dan Terkait akan memperketat antara lain pemberian jaminan kepada pelaku kekerasan berbasis gender dan femisida. Langkah itu juga memperluas pelanggaran di mana hukuman minimum harus dijatuhkan.

Pemimpin Afrika Selatan itu juga mengatakan, kekerasan dalam rumah tangga sekarang didefinisikan lebih luas lagi. Aturan itu akan mencakup mereka yang terlibat, berkencan, dalam hubungan adat dan hubungan romantis, intim atau seksual atau dalam durasi berapa lama pun.

"RUU tersebut juga memperluas definisi 'kekerasan dalam rumah tangga' untuk memasukkan perlindungan orang tua dari pelecehan oleh anggota keluarga," ujar Ramaphosa.

Dikutip dari Anadolu Agency, Ramaphosa menekankan, amandemen tersebut memberlakukan kewajiban baru pada pejabat penegak hukum dan pengadilan. Banyak penyintas kekerasan berbasis gender, menurutnya, telah kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan pidana negara sehingga peraturan perlu diperketat.

Ramaphosa mengatakan, para korban menghadapi kesulitan dalam mendapatkan perlindungan, sementara ada kondisi jaminan yang longgar untuk tersangka. Polisi juga tidak menanggapi keluhan kekerasan dalam rumah tangga dengan serius dan hukuman yang tidak tepat berkontribusi pada lingkungan sinisme dan ketidakpercayaan.

Ketika RUU baru diselesaikan, Ramaphosa menyatakan, peraturan itu akan membantu memulihkan kepercayaan perempuan bahwa hukum ada untuk melindungi mereka. Afrika Selatan memiliki salah satu insiden pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga tertinggi di dunia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement