Kamis 10 Sep 2020 22:55 WIB

Seafood, Mana yang Halal dan Tidak?

Semua hewan air halal dikonsumsi, sepanjang tidak menyebabkan kemudharatan.

Seafood, Mana yang Halal dan Tidak? (ilustrasi)
Foto: EPA
Seafood, Mana yang Halal dan Tidak? (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kata seafood dalam tulisan ini tidak hanya merujuk pada hewan laut saja. Namun semua jenis hewan yang hidup di sungai, danau, laut, dan samudera lepas, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat Al-Maidah (5) ayat 96, Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu menangkap binatang buruan darat, selama kamu dalam keadaan ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.

Dalam ayat lain Allah berfirman, Dan Dia lah Allah yang menundukkan lautan untukmu agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang segar... (QS An-Nahl [16]: 14) Dan tiada sama antara dua laut; yang ini tawar, segar, dan sedap diminum yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar... (QS Faathir [35]: 12)

Ayat-ayat di atas menerangkan bagaimana kehalalan binatang air. Semua binatang yang hidup, tanpa terkecuali, halal untuk dikonsumsi. Beberapa hadis juga menegaskan hal itu. Dalam sebuah hadis, misalnya, disebutkan beberapa sahabat pulang dengan membawa seekor ikan yang sangat besar, ada yang menyebut sejenis ikan paus. Mereka saling berdebat tentang kehalalan binatang itu, karena saat ditemukan, binatang itu telah mati. Sebagian menyebutnya halal, sebagian lagi menyatakan haram. Akhirnya diputuskan binatang itu dikonsumsi saja dengan pertimbangan mereka membutuhkan makanan.

Sesampainya di rumah, mereka menginformasikan hal itu pada Rasulullah SAW. Mereka mendapati penjelasan bahwa hewan itu dihalalkan oleh Allah berdasarkan surat di atas. Berbicara tentang binatang air, ada satu binatang yang status haramnya jelas, yaitu binatang yang hidup di dua alam seperti katak. Binatang ini jelas haram, sehingga dalam keadaan apapun terlarang untuk dikonsumsi.

Para pakar hukum Islam terbelah pendapatnya dalam soal kehalalan seafood. Ada yang menghalalkan binatang laut tanpa kecuali, namun ada juga yang membedakan berdasarkan saat penemuannya. Bila binatang itu ditangkap dalam keadaan hidup, maka halal. Namun sebaliknya, bila saat ditemyukan binatang air itu telah mati, maka haram hukumnya. Yang mengharamkan, mendasarkan pendapatnya pada ayat yang menyebut bangkai adalah haram, sedang yang menghalalkan, mendasarkannya pada hadis di atas.

Ada lagi yang menyebut, jika binatang itu ditangkap di air adalah halal namun jika ditangkap tidak di dalam air adalah haram. Termasuk dalam katagori ini adalah hewan-hewan dua alam kepiting, kura-kura, katak, dan sejenisnya. Namun mereka sama-sama sepakat, di luar binatang itu, semua spesies binatang laut adalah halal untuk dikonsumsi.

Bagaimana status rajungan dan kepiting yang sering dipertanyakan? Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H/15 Juni 2002, memutuskan kepiting adalah halal dikonsumsi, sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.

Dasar pertimbangannya, jenis kepiting bakau yang oleh masyarakat umum hanya disebut dengan kepiting saja ini adalah jenis binatang air, dengan alasan bernafas dengan insang, berhabitat di air, dan tidak akan pernah mengeluarkan telur di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 28 Desember 2007

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement