Selasa 15 Sep 2020 23:05 WIB

Daya Tawar Halal Muslim Indonesia

Melihat jumlah konsumsi Muslim Indonesia seharusnya dapat mendikte produsen.

Daya Tawar Halal Muslim Indonesia (ilustrasi).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Daya Tawar Halal Muslim Indonesia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketentuan-ketentuan mengenai pemisahan antara produk halal (yang diekspor ke Indonesia) dan non-halal (yang diekspor ke negara-negara non-Muslim) secara sempurna harusnya sangat diperhatikan dan menjadi pertimbangan utama para produsen di negara-nagara maju. Selain itu persyaratan penyembelihan hewan halal, semestinya bisa kita paksakan menggunakan cara-cara yang telah direkomendasikan oleh Komisi Fatwa MUI, meskipun diproduksi di Amerika atau Australia.

Tetapi pada kenyataannya konsep-konsep ideal menurut aturan Islam itu masih jauh dari sempurna. Salah satu sebabnya adalah lemahnya kekritisan konsumen. Masyarakat muslim hingga saat ini masih belum menyadari sepenuhnya akan hak-haknya sebagai seorang Muslim. Kita masih terlalu "bertoleransi" terhadap keinginan dan kemauan para produsen, sehingga cenderung diam terhadap kekurangan dan kelemahan dari segi kehalalan. Misalnya dengan masuknya produk-produk impor yang tidak jelas kehalalannya, sampai saat ini hanya MUI dan beberapa LSM saja yang berteriak-teriak meminta kejelasan. Sedangkan masyarakat kebanyakan masih adem-ayem saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan membanjirnya produk impor tersebut.

Sikap skeptif konsumen Muslim ini jauh sekali jika dibandingkan dengan komunitas Yahudi atau Hindu. Dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit, masyarakat Yahudi begitu kuat menekan dunia bahwa setiap makanan, minuman, obat, dan kosmetika yang dikonsumsinya harus sudah mendapatkan sertifikat kosher (semacam halal dalam terminologi mereka). Masyarakat Yahudi begitu cerewet dan peduli terhadap kosher ini, sehingga adanya produk pangan yang tidak bersertifikat kosher akan ditolak mentah-mentah, baik yang masuk ke negara Israel maupun yang dikonsumsi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia.

Dengan sikap kritis dan peduli inilah, maka lembaga sertifikasi kosher dapat menekan para produsen agar berproduksi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka tetapkan. Proses sertifikasi kosher ini, menurut pengakuan para pelaku bisnis, sangatlah rumit dan berbelit-belit. Jauh lebih kompleks dibandingkan dengan persyaratan halal.

Oleh karena itu pengawasan dan proses sertifikasi kosher dapat berlangsung hingga berhari-hari untuk satu jenis produk yang sangat kecil. Sebagai contoh, dalam proses penyembelihan hewan, mereka harus mengawasi benar tata cara penyembelihan seperti yang mereka inginkan. Bukan saja para penyembelihnya yang harus diawasi dengan ketat, tetapi juga potongan-potongan dagingnya juga diawasi, karena mereka tidak makan bagian-bagian tertentu dari karkas.

Kami tidak hendak mencampuri urusan umat lain. Mereka memiliki cara tersendiri dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka sesuai dengan aturannya dan kita sangat menghormati. Tetapi yang membuat kita kadang-kadang merasa iri adalah kepedulian masyarakatnya yang sangat tinggi dalam menuntut hak-haknya. Kesalahan sedikit saja dalam memenuhi persyaratan itu dapat berakibat fatal bagi pengusaha.

Itulah yang semestinya bisa dilakukan oleh umat Islam. Kebersamaan dan kepedulian atas hak-hak inilah yang masih kita rasakan sangat kurang. Sehingga jumlah penduduk dan permintaan barang yang sangat tinggi itu kurang diimbangi dengan kualitas dan tuntutan yang memadahi dalam memenuhi hak-haknya sebagai konsumen Muslim. 

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 16 Desember 2005

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement