Rabu 16 Sep 2020 09:08 WIB

Jejak Historis Kuliner Negeri-Negeri Muslim

Karakter kuliner Muslim bisa ditelisik dari kuliner Arab dan era Turki Usmani.

Jejak Historis Kuliner Negeri-Negeri Muslim. Nasi biryani khas Arab dengan ayam.
Foto: Wikimedia Commons
Jejak Historis Kuliner Negeri-Negeri Muslim. Nasi biryani khas Arab dengan ayam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azhar Rasyid, penilik sejarah Islam

JAKARTA -- Mulai dari kebab Turki yang merupakan salah satu fast food ternama di seantero bumi hingga rendang dari Sumatra Barat yang diberi gelar makanan terenak di dunia versi CNN, kuliner dari negeri-negeri Muslim tampaknya merupakan bintang baru dalam beberapa dekade terakhir. Para turis kini dengan mudah bisa menemukan restoran berlabel halal di negara-negara yang penduduknya mayoritas non-Muslim di Asia Timur, Eropa hingga Amerika Serikat (AS).

Baca Juga

Apakah fenomena mengglobalnya kuliner Muslim ini adalah fenomena baru? Bagaimana sebenarnya jejak kuliner Islam di masa lalu dan dinamikanya hingga kini?

Orang Arab di zaman Nabi Muhammad hidup di zaman ketika bahan pangan dan lauk pauk jarang didapat. Kondisi geografis berupa gurun tidak memungkinkan surplus makanan.

 

Adakalanya selama berhari-hari mereka hanya memakan kurma dan air. Nabi Muhammad sendiri sangat jarang melihat roti putih. Tak heran bila dalam berbagai hadits, Nabi menekankan tentang perlunya bersikap hemat dengan makanan.

Orang Arab mengolah gandum secara minimal, dengan hanya menambahkan sedikit garam atau bumbu lainnya. Nabi Muhammad, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas, bahkan pernah bersabda, “Garam adalah bagian penting dari makananmu”. Pendeknya, orang Arab kala itu, kata sejarawan David Waines (2011) tidak punya keragaman dalam hal makanan.

Kuliner Arab

Masyarakat Arab-Muslim baru mengenal diversifikasi makanan ketika Islam tersebar ke luar jazirah Arab. Kontak dengan daerah-daerah baru memungkinkan terjadinya pertukaran bahan makanan.

Kemunculan kota dan kian intensifnya sarana transportasi mempercepat percampuran elemen baru dalam tradisi makanan Arab. Buah anggur dan zaitun adalah dua makanan penting yang masuk ke kuliner Arab sejak abad ke-7 M.

Kekhalifahan Islam di luar Hijaz menjadi tempat di mana tradisi kuliner baru ini berkembang. Kekhalifahan Abbasiyah di Irak tidak hanya berhasil memajukan ilmu pengetahuan, tapi juga menginisiasi tradisi kuliner Islam yang bersifat global.

photo
Kebab (Ilustrasi) - (News)

Seni tata boga lahir di tengah para bangsawan Abbasiyah dan ini diabadikan pula dalam bentuk buku masakan. Bahan makanan yang dipakai kian beragam, adakalanya berharga mahal karena diperoleh dari tempat yang jauh.

Sementara itu, proses membuat makanan juga tidak cukup hanya dengan menabur garam saja, tapi sudah sampai level yang rumit. Makanan sudah bukan lagi kebutuhan untuk bertahan hidup, namun sudah menjelma menjadi gaya hidup tersendiri bagi kaum elite.

Di masa klasik dan pertengahan Islam inilah muncul tradisi kuliner Muslim, yang elemen-elemennya melintasi batas geografis atau etnis, namun tetap dibatasi oleh satu aspek: halal. Bahan makanan Arab hanya salah satu unsur pembentuknya.

Roti ala Arab tidak lagi cuma diberi bumbu, tapi juga dipadukan dengan kaldu dan daging. Ini dikenal dengan nama tharīd.

Versi lebih kompleksnya adalah dengan memadukan roti dengan truffle (sejenis jamur), madu, kacang polong, serta daun bawang. Ada lima jenis bumbu yang setidaknya harus ditambahkan untuk membuatnya siap dihidangkan.

Di sisi lain, sebagaimana dikemukakan oleh Waines (2011), ada tiga elemen lokal yang berperan membentuk kuliner Muslim di masa kekhalifahan Islam. Persia antara lain menyumbangkan isfānākh (bayam), India membawa terong, sementara Yunani mengirimkan selada.

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement