Rabu 16 Sep 2020 13:15 WIB

Masa Pandemi, Perusahaan Harus Adaptif

Perusahaan tidak boleh terlalu bergantung dengan bantuan pemerintah.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Fuji Pratiwi
Founder & Chairman MarkPlus Hermawan Kertajaya. Hermawan menilai perusahaan harus adaptif di masa pandemi Covid-19.
Foto: Istimewa
Founder & Chairman MarkPlus Hermawan Kertajaya. Hermawan menilai perusahaan harus adaptif di masa pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Founder & Chairman MarkPlus Hermawan Kartajaya mengatakan, perusahaan harus mampu beradaptasi dengan kondisi di tengah pandemi. Pada kuartal III dan kuartal IV merupakan fase post normal mengingat aktivitas sudah kembali berjalan, meski tetap harus mengedepankan protokol kesehatan.

Hermawan menilai banyak pekerja yang sudah terbiasa work from home (WFH) atau bekerja dari rumah saat PSBB kembali diterapkan di Jakarta. "Bahkan ada yang lebih senang kerja dari rumah, ya tidak apa-apa asalkan produktivitas naik," ujar Hermawan dalam webinar MarkPlus Industry Roundtable: Infrastructure Perspective di Jakarta, kemarin.

Baca Juga

Hermawan mendorong perusahaan memadukan apsek produktivitas, profesionalisme, dan manajemen dengan aspek kreatif dan inovatif. Termasuk perusahaan yang sedang mengalami peningkatan lantaran penugasan pemerintah seperti pupuk dan industri farmasi.

"Pendekatan yang adaptif akan meningkatkan peluang perusahaan tetap tumbuh di masa sulit seperti saat ini," kata dia.

 

Menurut Hermawan, perusahaan tidak boleh terlalu bergantung dengan bantuan yang digelontorkan pemerintah dalam mendorong perekonomian maupun daya beli masyarakat. Pasalnya, pemerintah juga memiliki keterbatasan dana. 

"Korporasi down sampai 2020, maka pemerintah melakukan bantuan lewat bansos, kredit, dan lain-lain, tapi kan tidak bisa terus menerus. Fokus pemerintah itu pemulihan pada 2021 dan 2022, kalau pemulihan tidak selesai pada 2022 bisa gawat," ucap Hermawan. 

Direktur Utama PT Bandarudara Internasional Jawa Barat (Perseroda) atau BIJB Salahudin Rafi mengatakan dampak pandemi juga dirasakan dalam aktivitas operasional di BIJB. Rafi menilai kondisi ini akan berlangsung cukup panjang. 

"Sekarang ini panglima tertinggi itu kesehatan, kebangkitan (industri penerbangan) ini kalau vaksin ditemukan," ujar Rafi. 

Kendati begitu, BIJB melakukan sejumlah langkah strategis dalam menjaga perusahaan lewat bussiness recovery, bussiness recofusing, dan bussiness regrowth.

Dari sisi bussiness recovery, BIJB mengambil hikmah akibat pandemi. Rafi menyampaikan konsep awal BIJB ialah pembangunan industri dan fasilitas pendukung terlebih dahulu sebelum membangun bandara. Hal ini berkebalikan dengan yang sudah terjadi. Fajar berharap selama masa pandemi dapat dimanfaatkan untuk mengejar percepatan infrastruktur seperti jalan tol, pusat bisnis, pusat logistik, hingga aerocity. 

Dalam bussiness recofusing, BIJB juga melakukan restrukturisasi pinjaman sindikasi perbankan. Perusahaan, lanjut Rafi, juga mengoptimalkan area parkir yang memiliki kapasitas hingga 22 pesawat.

"Dengan tidak operasi maskapai, maka kita manfaatkan parkir pesawat, kita dapat limpahan dari GMF karena Bandara Soekarno-Hatta penuh, ini bisa jadi pendapatan," ungkap Rafi. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement