Senin 21 Sep 2020 00:19 WIB

Bom Waktu Covid-19 dari Klaster Pilkada

Pilkada serentak 2020 diprediksi akan memunculkan ledakan kasus klaster Covid-19.

Petugas kesehatan mengangkat pemilih yang pingsan saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Simulasi tersebut digelar untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di tengah wabah Covid-19.
Foto: Antara/Budi Candra Setya
Petugas kesehatan mengangkat pemilih yang pingsan saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Simulasi tersebut digelar untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di tengah wabah Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Ketua KPU Arief Budiman dan satu komisionernya yaitu Pramono Ubaid Tanthowi baru saja mengonfirmasi bahwa mereka positif Covid-19. Terpaparnya dua elite komisi yang menangani urusan pemilu di Tanah Air seperti menjadi pengingat akan betapa mengerikannya penularan Covid-19 jika Pilkada Serentak pada Desember mendatang jadi digelar.

Jika Arief dan Pramono saja bisa terkena Covid-19, bagaimana dengan masyarakat yang setidaknya akan melewat dua tahapan pilkada yakni, kampanye dan pencoblosan yang rawan akan kerumunan?

Dalam riset terbarunya, Indobarometer memprediksi akan terjadi ledakan kasus positif Covid-19 pada dua tahapan Pilkada Serentak 2020. Yaitu, pada tahap masa kampanye pada 26 September - 5 Desember (71 hari) dan tahap pencoblosan pada 9 Desember.

Pada tahap kampanye, diperkirakan setidaknya akan ada lebih dari 19 juta orang tanpa gejala (OTG) yang ikut serta. Perhitungannya didasarkan pada jumlah pasangan calon (paslon) kepala daerah, yakni 734. Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah diperkirakan pula bakal melakukan kampanye secara terpisah, sehingga terdapat 1.468 calon.

Tiap calon diperkirakan bakal mengadakan kampanye berupa rapat umum ataupun pertemuan terbatas di 10 titik setiap harinya. Jika dikalikan dengan jumlah calon sebanyak 1.468 dan total masa kampanye selama 71 hari, maka akan terdapat 1.042.280 titik penyebaran Covid-19.

Setiap titik, lanjut dia, bakal diikuti maksimal 100 orang, sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Sehingga, akan terdapat 104.228.000 orang yang mengikuti semua tahapan kampanye tersebut.

Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia 19 persen, maka potensi OTG yang bergabung dan menjadi agen penularan dalam masa kampanye selama 71 hari adalah 104.228.000 orang dikalikan 19 persen yang menghasilkan angka 19.803.320 orang.

Angka-angka yang dimunculkan oleh Indobarometer di atas memang berupa hitungan kasar. Namun, jika variabel seperti misalnya penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat atau pengawasan ketat oleh aparat dimasukkan, potensi jumlah penularan tentunya masih cukup besar jika kita merujuk bagaimana kondisi pada tahap pendaftaran bakal pasangan calon (paslon) ke KPUD belum lama ini.

Saat itu, kerumunan massa bukan sekadar mengantar paslon, tapi di beberapa daerah juga ada paslon yang membumbui proses pendaftaran dengan pagelaran seni hingga konser musik. Bawaslu melaporkan, 243 bakal paslon diduga melanggar protokol kesehatan Covid-19.

Jumlah itu hampir setengah dari total 678 bakal pasangan calon yang telah mendaftar ke KPU. Dari total dugaan pelanggaran tersebut, 141 bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan terjadi pada 4 September dan 102 bakal pasangan calon lainnya terjadi pada 5 September.

Alih-alih tahapan pendaftaran paslon kemarin menjadi cerminan, KPU belakangan malah menegaskan tetap mengizinkan beberapa bentuk kegiatan kampanye pilkada, salah satunya berupa konser. KPU berdalih, ada ketentuan dalam UU Pemilu dan peraturan lainnya yang mengatur kegiatan seperti kampanye. Sehingga bagi KPU, tidak mudah menghapus bentuk-bentuk kampanye dalam pilkada.

Jika beberapa kegiatan kampanye tidak dilarang, bisa dibayangkan acara seperti pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik, kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai, perlombaan dan kegiatan yang pastinya memancing banyak massa akan terjadi pada masa pandemi ini.

KPU memang membatasi setiap kegiatan hanya bisa dihadiri maksimal oleh 100 orang dengan syarat penerapan protokol kesehatan yang ketat. Namun, siapa yang bisa menjamin pembatasan itu akan bisa menghindari tahapan kampanye dari kemunculkan klaster baru Covid-19?

Di tengah kondisi semakin gawatnya penularan Covid-19 di Indonesia, desakan penundaan pilkada mengemuka termasuk dari kalangan tenaga medis yang menjadi garda terdepan pandemi. Namun, KPU-DPR-Pemerintah saat ini sepertinya telah kompak bahwa tidak akan ada lagi penundaan pilkada apa pun risikonya.

Saat rapat bersama di Komisi II DPR pada 10 September lalu yang dihadiri Menteri Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP sama sekali tidak disinggung wacana penundaan pilkada. Sikap KPU, DPR, dan Pemerintah saat ini yang enggan membahas peluang penundaan kembali pilkada serentak seperti menafikan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam perppu yang terbit pada 4 Mei 2020 itu ditegaskan, apabila Covid 19 belum berakhir pada Desember 2020, maka pemungutan suara serentak dapat ditunda kembali.

"Pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2020 ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Covid 19 belum berakhir," demikian dikutip dalam penjelasan Pasal 201A ayat (3) Perppu tersebut.

Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla (JK) pada Sabtu (19/9) menyarankan agar Pilkada 2020 pada 9 Desember ditunda. JK meminta setidaknya pilkada ditunda sampai vaksin Covid-19 ditemukan.

Jika merujuk pada sikap percaya diri pemerintah saat ini yang yakin vaksin Covid-19 akan ditemukan pada akhir 2020 dan bisa didistribusikan ke masyarakat pada awal 2021, permintaan JK menjadi realistis untuk dikabulkan. Apalagi, menurut JK, penundaan pilkada toh tidak akan mengganggu jalannya pemerintahan daerah. JK menilai, saat ini kesehatan dan keselamatan masyarakat harus lebih diutamakan. Setuju, Pak!

*penulis adalah juranalis Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement