Selasa 22 Sep 2020 23:03 WIB

Goreng Ikan Hidup-hidup, Halalkah?

Terdapat unsur yang menyebabkan adanya larangan menggoreng ikan dalam keadaan hidup.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Goreng Ikan Hidup-hidup, Halalkah?  (ilustrasi)
Foto: Antara/Galih Pradipta
Goreng Ikan Hidup-hidup, Halalkah? (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejatinya, halal merupakan suatu mekanis atau tuntunan untuk mendapatkan hal yang tayib yang dapat dikonsumsi atau digunakan manusia. Memasak hewan, semisal, ikan untuk dijadikan makanan halal pun memiliki tuntunan tersendiri.

Dalam kitab Kasyifatus Saja karya Syaikh Na wawi Al-Bantani dijabarkan bahwa sejatinya menggoreng hewan (dalam hal ini ikan) dalam keadaan hidup dihukumi boleh. Beliau juga menjabarkan bahwa diperbolehkan juga menelan ikan tersebut apabila ukurannya kecil. Bolehnya hukum tersebut juga menjadi kaitan dengan termaafkannya najis yang ada di dalam perut hewan (ikan). Jika seseorang tidak ingin mematikan ikannya terlebih dahulu atau ingin membungkusnya hidup-hidup untuk dijadikan pepesan, hal itu menjadi halal dan dihukumi boleh.

Kendati demikian, berdasarkan pendapat ulama beraliran Hanafiyah dan Malikiyah dalam kitab Al- Mausu'ah Al-Fiqhiyah, menggoreng ikan dalam keadaan hidup tidak diperbolehkan. Terdapat unsur-unsur yang menyebabkan adanya larangan menggoreng ikan dalam keadaan hidup. Alasannya, menggoreng dalam ikan dalam keadaan hidup masuk da lam kategori menyakiti hewan. Sedangkan, menyakiti hewan dalam Islam tidak diperkenankan, alias dilarang.

Para ulama kedua aliran mazhab ini juga berpendapat bahwa apabila seseorang hendak menggoreng ikan, dianjurkan untuk menunggunya hingga mati terlebih dahulu. Para ulama tersebut berpendapat bahwa apabila ikan masih hidup, tidak diperbolehkan bagi umat Muslim untuk memakannya sebelum ikan tersebut mati dengan sendirinya atau sengaja dimatikan.

Adapun pendapat ulama Hanafiyah menilai, apabila terdapat seseorang yang memakan ikan yang digorengnya dalam keadaan hidup, hukum memakannya adalah makruh. Ikan sendiri dikenal dalam Islam sebagai hewan yang halal dikonsumsi, bahkan sekalipun bangkainya. Kehalalan bangkai ikan ini bahkan telah terbukti secara ilmiah tidak mengganggu aktivitas kerja tubuh manusia sama sekali.

Dirangkum dari berbagai literatur sains dan Islam, diperbolehkan memakan bangkai ikan karena ikan sejatinya tidak memiliki pembuluh darah yang menyebabkan mengendapnya darah tersebut apabila organ tubuhnya tak berfungsi. Artinya, dalam keadaan mati pun, ikan layak dan aman untuk dikonsumsi.

Apalagi, air laut pun merupakan wadah yang dapat menjadi pengawet alami bagi tubuh ikan. Dengan kadar garam yang tinggi, bangkai ikan yang mati di laut kerap segar dan tahan lama dan tak merusak keseluruhan kadar protein dalam tubuh ikan. Kendati demikian, bukan berarti Islam tak meng atur bagaimana mengonsumsi ikan dengan baik. Dari mulai cara menggoreng saja, Islam meng aturnya dengan sangat detail.

Meski terdapat perbedaan pendapat dalam kha zanah fikih Islam, alangkah baiknya kita dapat me ngonsumsi ikan tanpa perlu menyakitinya. Apalagi, Rasulullah SAW mengajarkan umat Muslim untuk selalu bersikap baik tidak hanya kepada manusia, ta pi juga hewan. Hal ini sebagaimana hadis yang di riwayatkan Imam Ahmad, Nasai, dan Turmudzi.

Rasulullah SAW bersabda, "Innallaha 'azza wa jalla katabal ihsana 'ala kulli syaiin faidza qataltum fa-ahsinulqitlata qa iadza dzabahtum fa-ahsinu addzibhata liyuhidda ahadukum syafratahu walyurih dzabihatahu." Yang artinya, "Sesungguhnya Allah me wajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian hedak mematikan (binatang), maka matikanlah dengan cara yang baik. Apabila ka lian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan sembelihannya."

Kasih sayang kepada hewan yang hendak kita kon sumsi pun menjadi perhatian tersendiri. Bukankah akan menjadi lebih baik apabila kita mengonsumsi ikan dengan cara dimasak dengan baik tanpa perlu menyakiti hewannya? Kendati demikian, kita juga perlu menghargai pendapat-pendapat berbeda yang membolehkan perilaku tersebut.

Apalagi, para ulama memiliki kapasitas ilmu dan kealiman di atas rata-rata manusia pada umumnya. Untuk itulah, alangkah baiknya perbedaan pendapat dalam menghukumi suatu hukum tertentu bukan justru dijadikan ajang pembelaan atau ajang menghakimi satu sama lain, tapi justru dapat dijadikan momentum memperkaya khazanah keislaman yang sangat luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement