Senin 28 Sep 2020 14:50 WIB

Kemenkeu Sebut Tantangan Penetapan Tarif Sertifikasi Halal

Pelaku UMK setidaknya membutuhkan biaya Rp 3,4 juta untuk melakukan sertifikasi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui, ada beberapa tantangan teknis dalam menetapkan tarif sertifikasi halal. Salah satunya, ketersediaan anggaran untuk membiayai sertifikasi halal bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang direncanakan akan ditanggung pemerintah.
Foto: ANTARA /FB Anggoro
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui, ada beberapa tantangan teknis dalam menetapkan tarif sertifikasi halal. Salah satunya, ketersediaan anggaran untuk membiayai sertifikasi halal bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang direncanakan akan ditanggung pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui, ada beberapa tantangan teknis dalam menetapkan tarif sertifikasi halal. Salah satunya, ketersediaan anggaran untuk membiayai sertifikasi halal bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang direncanakan akan ditanggung pemerintah.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Andin Hadiyanto mengilustrasikan, pelaku UMK setidaknya membutuhkan biaya Rp 3,4 juta untuk melakukan proses sertifikasi. Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMK di Indonesia mencapai 3,7 juta.

Baca Juga

Artinya, total anggaran yang dibutuhkan untuk UMK mendapatkan sertifikat halal mencapai Rp 12,6 triliun. Jika merujuk pada Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kini sedang dalam tahap pembahasan, biaya tersebut akan ditanggung pemerintah 100 persen.

"Ini harus dialokasikan anggarannya. Kita pikirkan di situ," ucap Andin dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII di Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/9).

Tantangan lain yang disebutkan Andin adalah kapasitas Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Berdasarkan data olahan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), kapasitas LPH untuk melakukan proses sertifikasi hanya 156 ribu tiap tahun.

Andin mencatat, setidaknya butuh waktu lebih dari 23 tahun bagi LPH untuk menutupi kebutuhan sertifikasi 3,7 juta UMK saja. Apabila dipaksakan, Andin menilai, akan menciptakan ketidakadilan bagi dunia usaha apabila kapasitas LPH dipaksakan untuk memenuhi kebutuhan sertifikasi halal. Mereka yang belum mendapat sertifikat karena memang belum mendapat giliran dari LPH akan merasa ‘dirugikan’. Sebab, konsumen diyakini lebih memilih produk dengan sertifikat halal dibandingkan yang belum memilikinya.

Sampai saat ini, Kemenkeu sudah menerima usulan tarif sertifikasi halal dari Kementerian Agama. Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai tarif pun telah dibuat setelah melalui diskusi dengan pemangku kepentingan terkait.  

Besaran tarifnya bervariasi, tergantung nilai omzet yang dimiliki suatu usaha. Semakin tinggi omzet mereka, maka biaya sertifikasi halal yang harus dibayar juga lebih mahal.

Insentif khusus diberikan untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Pemerintah akan menanggung 100 persen tarif sertifikasi halal mereka yang memiliki kategori omzet lebih kecil dari Rp 1 miliar. Kebijakan itu telah menjadi amanat dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah diakomodasi dalam Rancangan PMK.

Dalam PMK itu, Andin mengatakan, Kemenkeu akan menetapkan tarif dalam bentuk range atau rentang. Salah satunya ditujukan untuk memberi ruang bagi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam melakukan subsidi silang. Nantinya, selisih yang didapatkan dari tarif sertifikasi halal pengusaha besar, bisa digunakan untuk membayar tarif UMK.  

Kebijakan itu juga dilakukan untuk memudahkan proses implementasinya. "Agak sulit Kemenkeu menetapkan tarif sampai secara rinci ke tiap pelaku usaha. Bahkan, dalam usaha mikro kecil pun, variasinya macam-macam," ujar Andin.

Sampai saat ini, tarif layanan sertifikasi halal belum ditetapkan secara resmi oleh pemerintah. Padahal, pemberian kewajiban sertifikasi halal untuk dunia usaha sudah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang seharusnya dimulai sejak Oktober 2019.

Wakil Menteri Agama Zainut mengakui, belum adanya tarif sertifikasi halal telah memberikan berbagai implikasi. Di antaranya, BPJPH sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang bertanggung jawab atas sertifikasi halal, tidak akan berjalan dengan efektif. Khususnya, dalam mencapai target Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Di sisi lain, Zainut menambahkan, BPJPH tidak dapat memanfaatkan aset yang dimiliki untuk mengembangka unit bisnis. Implikasi berikutnya, negara tidak dapat menerima PNBP dari proses sertifikasi produk halal. "Berikutnya, tidak ada akuntabilitas pembiayaan sertifikasi halal," ucapnya, dalam kesempatan yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement