Senin 28 Sep 2020 18:41 WIB

Media Sosial Jadi Tempat Permalukan Orang Terkait Covid-19

Mengapa orang menjadi kecanduan mempermalukan orang di media sosial soal Covid-19?

Rep: Dwina Agustin/ Red: Reiny Dwinanda
Emoji. Mempermalukan orang di media sosial seolah memperbesar volume stigma yang sudah ada.
Foto: Republika
Emoji. Mempermalukan orang di media sosial seolah memperbesar volume stigma yang sudah ada.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Terjebak di dalam rumah dengan ruang terbatas membuat orang menggunakan media sosial secara lebih aktif. Mempermalukan orang lain menjadi salah satu kegiatan yang marak ketika virus corona menyebar di seluruh dunia.

Mempermalukan orang yang sakit atau tidak mengikuti aturan pencegahan krisis kesehatan masyarakat sebetulnya sudah menjadi hal jamak sejak sebelum virus corona. Namun, kecepatan dan jangkauan media sosial di era pandemi memberi praktik dimensi baru yang agresif.

Baca Juga

"Ini seperti seseorang baru saja memperbesar volume stigma yang sudah ada," kata profesor dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat, David Barnes.

Ketika merasa terancam oleh sesuatu, masyarakat butuh penjelaskan. Mereka seolah membutuhkan kambing hitam hingga kemudian mempermalukan atau memberi label pada orang yang tidak patuh protokol kesehatan, salah satunya dengan menjuluki mereka dengan tagar #COVIDIOT.

Barnes mengatakan, kondisi itu membantu mereka menegaskan kembali pemikirannya dan memahami apa yang terjadi. Itu adalah gagasan penting selama pandemi yang bisa terasa kabur dan tidak terlihat.

"Tidak pernah ada masyarakat yang tidak pernah mengalami penyakit moral," kata ahli telah mempelajari pandemi dan stigmatisasi itu.

Situs media sosial seperti Facebook telah menerapkan praktik yang dulunya terbatas pada lingkaran sosial atau geografi. Sekarang, perusahan media sosial ini menskalakannya ke proporsi massa menjadikannya tidak terbatas secara efektif.

"Itu mengubah harapan untuk dapat berbicara. Setiap orang punya suara sekarang," kata Pamela Rutledge, psikolog yang mempelajari dampak media sosial sebagai direktur Pusat Penelitian Psikologi Media.

Salah satu contoh yang menarik perhatian adalah pengalaman Rick Rose. Dia sempat menyatakan di Facebook bahwa dia tidak membeli masker wajah. Dua bulan kemudian, dia tertular Covid-19  dan mengunggah dirinya sedang berjuang untuk bernapas. Beberapa hari kemudian, pada 4 Juli, dia meninggal.

Kematian Rose dilaporkan oleh media nasional. Orang dari berbagai penjuru AS lantas mampir ke akun Facebook-nya untuk mengunggah pesan atau meme yang mempermalukannya.

Banyak juga yang meninggalkan pesan berharap dia baik-baik saja atau memarahi mereka yang mengkritik. Postingan itu menarik perhatian dalam bentuk lebih dari 3.100 emoji wajah tertawa "haha" dan semburan kritik dari orang asing.

"Jika mereka mengenalnya, mereka akan mencintainya seperti orang lain,” kata ibu dari Rose, Tina Heschel.

Profesor Massachusetts Institute of Technology  yang mempelajari media sosial, Sherry Turkle, mengatakan bahwa mempermalukan dapat membantu orang merasa yakin bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang benar dan bahwa orang lain pasti melakukan kesalahan. Dia menyebutnya perlindungan magis dan fantasi.

"Ini adalah cara untuk membuat tembok antara kita dan orang-orang yang sakit," kata Turkle.

Media sosial juga memberi kesempatan bagi orang yang terisolasi dalam pandemi cara cepat untuk bergabung dengan komunitas yang memiliki kepercayaan yang sama. Ketika seseorang bergabung dengan sebuah grup, identitas yang lebih luas itu membuatnya mudah untuk rekat.

Orang-orang bahkan mungkin tidak menyadari bahwa mereka menjadi terikat saat mengklik emoji atau meninggalkan komentar di pembahasan yang sedang bergulir. Media sosial, menurut Turkle, dapat membuat aksi mempermalukan menjadi sangat adiktif.

"Mereka bahkan tidak lagi kecanduan dengan konten tertentu. Mereka hanya kecanduan proses berpartisipasi," kata Turkle.

Julian Siegel pun termasuk sosok yang merugi akibat komentar nyinyir warganet. Dia memperkirakan bisnis restoran Fort Lauderdale, Florida, turun sekitar 20 persen awal musim semi ini.

Kondisi tersebut terjadi setelah seseorang mengunggah gambar orang-orang yang menunggu di tempat parkirnya untuk mencari makanan di aplikasi Nextdoor. Orang tersebut mengatakan bahwa pelanggan tidak mengikuti pedoman jarak sosial di Pasar Riverside.

"Itu gila. Orang-orang yang belum pernah ke sini mengecam kami, mengatakan bagaimana kami menyebarkan Covid-19," kata Siegel meski mengakui memang kondisi itu terjadi.

Siegel melihat, tiga atau empat postingan di aplikasi Nextdoor dan Facebook mempertanyakan keamanan pelanggan di restorann Fort Lauderdale. Pada akhirnya, dia menilai, lebih banyak orang yang membela restoran tersebut daripada mengkritiknya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement