Kamis 01 Oct 2020 12:11 WIB

Deflasi 3 Bulan Berturut-turut, BPS: Daya Beli Sangat Lemah

Deflasi yang berturut-turut terakhir terjadi pada tahun 1999, yaitu selama 7 bulan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung melihat sejumlah produk UMKM Kota Bandung yang dijual saat acara Pasar Kreatif Bandung 2020 di Trans Studio Mall, Kota Bandung, Jumat (18/9). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan telah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli hingga September 2020. BPS menilai, situasi saat ini menunjukkan daya beli masyarakat masih sangat lemah akibat pandemi virus corona.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pengunjung melihat sejumlah produk UMKM Kota Bandung yang dijual saat acara Pasar Kreatif Bandung 2020 di Trans Studio Mall, Kota Bandung, Jumat (18/9). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan telah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli hingga September 2020. BPS menilai, situasi saat ini menunjukkan daya beli masyarakat masih sangat lemah akibat pandemi virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan telah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli hingga September 2020. BPS menilai, situasi saat ini menunjukkan daya beli masyarakat masih sangat lemah akibat pandemi virus corona.

Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan, pada Juli 2020 terjadi deflasi 0,10 persen. Kemudian berlanjut pada bulan Agustus sebesar 0,05 persen dan September 0,05 persen.

"Daya beli kita masih sangat lemah. Itu yang perlu diwaspadai karena ada deflasi berturut-turut selama tiga bulan. Jadi sepanjang kuartal III ini daya beli masih lemah," kata Suhariyanto dalam konferensi pers, Kamis (1/10).

Ia menjelaskan, deflasi yang terjadi berturut-turut itu terakhir terjadi pada tahun 1999 silam. Saat itu, terjadi deflasi secara tujuh bulan beruntun yakni pada bulan Maret hingga September.

 

Adapun untuk laju inflasi inti tercatat sebesar 0,13 persen. Angka tersebut tercatat telah mengalami tren penurunan sejak bulan Maret lalu yang masih sebesar 0,29 persen.

Suhariyanto mengatakan, inflasi inti pada September lalu pun merupakan yang terendah sejak 2004 saat BPS dan Bank Indonesia mulai menghitung angka inflasi inti.

Suhariyanto mengatakan, dari pemantauan BPS, pasokan barang kebutuhan pokok saat ini mencukupi. Namun, permintaan dari masyarakat yang rendah sehingga harga-harga mengalami penurunan. Pandemi Covid-19 pun diakui telah menghantam dua sisi, baik dari segi suplai maupun permintaan. Kebijakan-kebijakan pembatasan sosial di berbagai negara menyebabkan rendahnya daya beli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement