Jumat 02 Oct 2020 20:34 WIB

Komnas Haji: Pemerintah Harus Proaktif Soal Kebijakan Saudi

Sembari terus menyiapkan regulasi yang kompatibel dengan situasi saat ini.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Komnas Haji: Pemerintah Harus Proaktif Soal Kebijakan Saudi (ilustrasi).
Foto: Suadigazette
Komnas Haji: Pemerintah Harus Proaktif Soal Kebijakan Saudi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah Arab Saudi membuka kembali umroh secara bertahap mulai 4 Oktober 2020. Namun, penyelenggaraan umroh fase pertama itu hanya diperuntukkan bagi warga Saudi dan ekspatriat. Seiring dengan keputusan membuka umroh di tengah pandemi ini, Saudi juga meluncurkan aplikasi umrah bernama I'tamarna. Aplikasi tersebut mengatur masuknya jamaah umroh, jamaah sholat, hingga pengunjung.

Menanggapi ini, Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, mengatakan bahwa semua perubahan yang terjadi terkait penyelenggaraan umroh harus dibicarakan melalui pemerintah ke pemerintah (G to G). Dalam hal ini, ia menekankan agar pemerintah Indonesia terus proaktif menyikapi kebijakan-kebijakan Saudi terkait umroh tersebut, sembari terus menyiapkan regulasi yang kompatibel dengan situasi saat ini.

"Misalnya, dengan sesegera mungkin menerbitkan protokol umroh secara komprehensif dari pendaftaran, pemberangkatan, penyelenggaraan ibadah sampai pemulangan," kata Mustolih, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id.

Terkait dengan aplikasi umrah yang dirilis Saudi, Mustolih berpandangan bahwa umroh di masa depan memang akan berbasis digital, sebagai konsekuensi dari migrasi sistem konvensional ke sistem digitalisasi ekonomi. Karena selain ibadah, penyelenggaraan umroh juga harus dipahami sebagai kegiatan bisnis.

 

Ia mengatakan, era ekonomi digital mengandalkan kecepatan dan efisiensi. Hal itu harus segera ditanggapi oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana ketika sistem haji berubah menjadi E-Hajj.

Maka, menurutnya, integrasi data mutlak terjadi tidak bisa terhindarkan. Sebagai konsekuensinya, karena Saudi merupakan negara tujuan/tuan rumah, pemerintah Indonesia mau tidak mau harus menyesuaikan.

"Poin terpenting dari sistem elektronik semacam ini adalah pentingnya perlindungan data jamaah jangan sampai bocor. Karena banyak data pribadi yang merupakan wilayah konfidensial. Misalnya data biometrik, riwayat kesehatan dan sebagainya," ujarnya.

Selain syarat protokol kesehatan yang ketat, Saudi memberikan ketentuan bahwa jamaah umroh yang diperbolehkan dibatasi, yakni antara usia 18-65 tahun. Mustolih menilai, ketentuan pembatasan usia tersebut tidak lepas dari pandemi Covid-19.

Pasalnya, jamaah di atas usia 65 tahun merupakan kelompok usia yang rentan terpapar virus corona, terlebih bagi mereka yang memiliki penyakit bawaan. Sedangkan usia di bawah 18, kata dia, menyangkut kedisiplinan calon jamaah dalam menjalankan protokol kesehatan dalam proses menjalankan ibadah umrah.  

Pembukaan umroh ini dilakukan dalam 3 fase. Fase pertama dibuka 4 Oktober 2020 dengan kuota sebanyak 6.000 orang per hari. Selanjutnya, fase kedua pada 16 Oktober 2020 sebanyak 15 ribu jamaah. Fase ketiga umroh dilaksanakan pada 1 November 2020 dengan kuota sebanyak 20 ribu jamaah.

Jamaah mancanegara akan mulai diizinkan umroh di fase ketiga. Namun demikian, pemerintah Saudi sendiri belum menentukan negara mana saja yang tidak diperbolehkan mengirim jamaahnya ke tanah suci. Mustolih berpandangan, bisa jadi Indonesia berada di kelompok negara yang dicegah mengirimkan jamaah umroh, apabila penanganan Covid-19 di tanah air masih belum kunjung membaik. Namun demikian, hal demikian menurutnya harus terus dibicarakan dengan pihak pemerintah Saudi.

"Sebab, Arab Saudi memiliki kepentingan menjaga teritorialnya dari pandemi, atau dengan kata lain umroh jangan sampai menjadi cluster baru Covid-19," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement