Senin 05 Oct 2020 14:06 WIB

Nasib Para Pekerja Migran Afrika di Negara Teluk, Tragis?

Para pekerjam migran asal Afrika mengalami situasi tragis di negara Teluk.

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Sejumlah migran Afrika berada di negara Teluk.
Foto: Dok Istimewa
Ilustrasi Sejumlah migran Afrika berada di negara Teluk.

REPUBLIKA.CO.ID, ADIS ABABA – Ribuan pekerja migran dari Afrika saat ini hidup dalam kondisi yang mengenaskan di pusat-pusat penahanan di negara-negara Arab. 

Sebuah organisasi hak asasi manusia menuduh negara-negara Teluk melakukan rasisme yang terstruktur dengan sempurna.  

Baca Juga

Dilansir dari Qantara pada Senin (5/10), ratusan laki-laki terbaring di lantai dengan bertelanjang dada. Banyak dari mereka memiliki bekas luka di punggung.

Menurut British kabar Daily Telegraph, foto-foto tersebut diambil di Arab Saudi oleh migran Ethiopia yang datang bekerja ke negara Teluk. Mereka yang tidak lagi dibutuhkan akan ditahan di tempat tinggal yang lebih menyerupai kamp interniran. 

"Ini adalah neraka, kami diperlakukan seperti binatang dan dipukuli setiap hari. Beberapa narapidana telah bunuh diri," lapor seorang pemuda Etiopia.

Selain itu, di kamp-kamp tersebut juga hanya sedikit toilet yang disediakan. Toilet tersebut juga dipenuhi dengan kotoran, dan hampir tidak ada air minum.  

Konsul Jenderal Ethiopia di Jeddah melaporkan, bahwa Arab Saudi memiliki 53 penjara tempat penahanan warga Ethiopia. Salah satu rumah tahanan tersebut diisi oleh 16 ribu orang. 

Organisasi hak asasi manusia telah meminta Arab Saudi agar memperlakukan para tahanan dengan cara yang lebih manusiawi dan segera menutup pusat penahanan. Kedutaan Saudi Arab di London berjanji untuk menangani masalah tersebut, dengan mengatakan bahwa foto-foto itu mengejutkan dan tidak dapat diterima.  

Foto-foto tersebut telah menguatkan bukti apa-apa yang telah dilaporkan oleh para pekerja migran selama bertahun-tahun dari banyak negara Teluk. Mereka mengaku disekap seperti budak oleh majikan mereka dan sering dilecehkan.  

Peraturan daerah membuat para migran hampir sepenuhnya bergantung pada majikan mereka. Seringkali bahkan mereka tidak mendapatkan hak atau upah dari majikan mereka atas pekerjaan mereka. 

Tenaga kerja yang berani mengeluh akan segera dibuang begitu saja dan sayangnya, mereka tidak bisa meninggalkan negara begitu saja, karena paspor yang disita oleh majikan. Serangan kekerasan terhadap para pekerja tidak jarang terjadi. Surat kabar Ethiopia Addis Standard melaporkan, bahwa mayat pekerja dari negara-negara Arab secara teratur tiba di bandara Addis Ababa.  

Kondisi para pekerja migran di Arab Saudi yang memprihatinkan ini, membuat pemerintah Ethiopia bahkan memutuskan untuk mengambil tindakan pada 2016 dengan melarang warganya pergi bekerja di negara tersebut. Tetapi tahun lalu, larangan tersebut dicabut lagi, bukan karena keadaan telah membaik, tetapi karena kebutuhan ekonomi.  

Jutaan pekerja migran dari Asia dan Afrika Timur kembali bekerja di kerajaan Arab Saudi. Mereka banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja konstruksi. "Rasisme di Negara-negara Teluk terstruktur dengan sempurna," tulis Vani Saraswathi dari organisasi Migrant Rights. 

Ditambah lagi pasc munculnya virus corona, iklim sosial semakin memburuk. Diskriminasi semakin dialami pekerja migran Afrika atas perlakuan majikan mereka.  

Para majikan seolah menempatkan mereka sebagai pembawa virus. Sehingga majikan melarang mereka meninggalkan rumah dan bertemu teman atau begitu saja membuangnya.  

Di kota Lebanon misalnya, tidak sedikit dari para pekerja migran asal Etiopia diturunkan oleh majikan mereka di depan konsulat negara itu. Banyaknya pekerja migran yang dibuang di jalanan membuat jalanan distrik Hazmiyeh menjadi lautan kasur. Mereka mendirikan kemah di luar konsulat, hanya agar dipulangkan ke negara dan rumah asal mereka.  

Jumlah pekerja migran di Lebanon diperkirakan sebanyak 200 ribu orang di seluruh negeri. Bahkan sebelum virus corona melanda negara itu, sebagian besar masyarakat kelas menengah sudah berjuang untuk bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi dan mata uang. 

Namun, saat ini, banyak dari mereka yang sudah tidak bisa lagi membayar pembantu, sopir atau pengasuh mereka. Sehingga meninggalkan ribuan pekerja migran di jalan tanpa pesangon sepeser pun apalagi tiket pulang. 

"Lebanon telah berubah menjadi penjara raksasa, jauh dari rumah," tulis organisasi Kafia.  

Dalam beberapa pekan terakhir, banyak migran memposting pesan emosional di jejaring sosial, meminta pemerintah mereka untuk memulangkan mereka. Namun dalam banyak kasus, tidak ada bantuan yang datang.  

Setelah ledakan dahsyat di Beirut, Perdana Menteri Ethiopia dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Abiy Ahmed, dari semua orang, membuat pernyataan tentang masalah tersebut. Dia mengungkapkan penyesalannya dan kemudian menulis: "Saya mendorong warga Ethiopia yang tinggal di Beirut untuk menghubungi konsulat sehingga mereka dapat saling membantu dalam cobaan ini." 

Sebanyak 94 pekerja migran perempuam Ethiopia yang tinggal di Beirut dalam keadaan yang mengerikan dapat kembali pulang ke rumah. Biaya tersebut ditanggung oleh organisasi pemberi bantuan dan individu. 

Sumber: https://en.qantara.de/content/migrant-workers-in-saudi-arabia-and-lebanon-exploited-locked-up-abandoned

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement