Kamis 08 Oct 2020 20:02 WIB

MUI Jelaskan Substansi Halal yang Hilang Akibat UU Ciptaker

Kesaksian auditor tersebut tidak bisa diterima oleh ulama.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Fakhruddin
MUI Jelaskan Substansi Halal yang Hilang Akibat UU Ciptaker. Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim.
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
MUI Jelaskan Substansi Halal yang Hilang Akibat UU Ciptaker. Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menyampaikan bahwa substansi sertifikasi halal hilang oleh Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Niat pemerintah dan DPR mempercepat dan mempermudah prosedur sertifikasi halal tapi malah menghilangkan substansi halalnya.

Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim mengatakan, sertifikasi halal dianggap sebagai sebuah perizinan. Karena semangat pemerintah dan DPR ingin mempercepat perizinan supaya meningkatkan investasi serta menggerakkan ekonomi. Tujuannya memang bagus, tapi kalau melihat UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan halal justru substansi halalnya menjadi hilang.

"Tapi dilihat dari undang-undangnya (yang) berkaitan dengan halal maksud saya, ternyata substansi halalnya menjadi hilang," kata Lukmanul saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/10). 

Ia menjelaskan sebab-sebab substansi sertifikat halal hilang akibat UU Cipta Kerja. Pertama, kebijakan self declare halal untuk usaha mikro dan kecil (UMK). Artinya UMK dapat menyatakan sendiri kehalalan produknya. Padahal yang harus dipahami, halal sejatinya berasal dari hukum Islam yang memiliki aturan tersendiri dalam penetapan hukumnya. Artinya pernyataan halal oleh diri sendiri bukan sertifikat halal.

 

Ia menerangkan, informasinya ada panduannya untuk melakukan self declare, tapi apakah UMK paham panduannya. Kalau dilihat dari sisi panduan, yang namanya hukum harus ada isbat atau penetapan. Kalau ada penetapan maka harus ada forumnya atau ada majelis fatwanya. Tapi dalam kebijakan self declare halal tidak ada majelis fatwanya, lantas tiba-tiba menyatakan produknya halal.

"Maka bisa kita katakan itu bukan sertifikat halal, itu pernyataan diri sendiri, itu sudah kehilangan substansi sertifikasi halal sebagai produk hukum menurut saya," ujarnya.

Lukmanul menjelaskan, yang kedua, dikatakan harus pakai prosedur untuk perusahaan menengah melakukan sertifikasi halal sehingga ada prosesnya. Tapi LPPOM MUI lihat auditor itu sebagai saksi dari ulama, karena ia saksi maka harus ditetapkan oleh ulama dan ditunjuk oleh ulama.

Di dalam UU JPH Nomor 33 Tahun 2014 diatur untuk menunjuk auditor ada tahapannya yang disebut sertifikasi auditor oleh ulama. Sekarang setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan tidak ada aturan itu. Artinya ulama tidak memiliki saksi, maka auditor itu tidak bisa dianggap sebagai saksi dari ulama. Kesaksian auditor tersebut tidak bisa diterima oleh ulama. Maka kebijakan ini sudah menghilangkan substansi hukum halal.

"Substansi halalnya tidak ada, karena yang menjadi saksinya tidak ditetapkan oleh ulama," jelas Lukmanul.

Ketiga, LPPOM MUI melihat Pasal 35 A bahwa hasil audit diserahkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kepada Komisi Fatwa MUI. Dalam tempo tiga hari jika tidak ada ketetapan halal atau haram dari Komisi Fatwa MUI, maka BPJPH bisa menerbitkan sertifikat halal. Artinya tanpa fatwa dari ulama, BPJPH sudah bisa keluarkan sertifikat halal.

"Tanpa penetapan halal bisa menerbitkan sertifikat halal, ini sudah melenceng dari substansi halal karena sebenarnya sertifikat halal itu sejatinya ketetapan halal dari ulama, BPJPH menerbitkan (halal harusnya) berdasarkan itu," kata Lukmanul.

Ia menegaskan, LPPOM MUI bukan membahas waktu tiga hari itu, tapi membahas mekanismenya yang sudah menggugurkan hukum halal. Itu yang disebut dengan membuat-buat hukum yang dalam ajaran Islam dilarang. 

Keempat, dalam Pasal 42 dijelaskan setelah habis masa sertifikat halal yang masanya empat tahun, perusahaan mengajukan kembali sertifikat halal ke BPJPH. Dengan pernyataan perusahaan tidak mengalami perubahan, maka BPJPH bisa menerbitkan sertifikat halal untuknya.

"Sertifikat halal substansinya apa? Sejatinya sertifikat halal itu fatwa, (hanya dengan) pernyataan bahwa ia (perusahaan) tidak mengalami perubahan bisa diterbitkan sertifikat halal tanpa majelis fatwa dan majelis penetapan halal, ini juga membuat hilang substansi halalnya," ujarnya.

Lukmanul menegaskan, niat pemerintah dan DPR mempercepat dan mempermudah prosedur sertifikasi halal tapi malah menghilangkan substansi halalnya. "Menurut saya ini bisa menghilangkan substansi halal, ini bisa disebut bukan sertifikat halal tapi registrasi kepada BPJPH," jelasnya.

LPPOM MUI melihat hilangnya substansi sertifikat halal di Indonesia akan menjadi isu internasional tentang kualitas sertifikat halal di Indonesia. Jadi kualitas sertifikat halal di Indonesia yang tanpa melakukan penetapan halal akan menjadi lemah. Awalnya sertifikasi halal jadi keuntungan untuk produk Indonesia bersaing di pasar, sekarang malah menjadi lemah. Karena nanti akan ada yang tidak percaya dengan kualitas sertifikat halal di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement