Kamis 08 Oct 2020 23:29 WIB

Islam di Portugal, Imigran Muslim yang Dicibir Elite Politik

Keberadaan Muslim di Portugal didominasi para imigran Muslim dari berbagai negara.

Rep: Yusuf A/ Red: Nashih Nashrullah
Keberadaan Muslim di Portugal didominasi para imigran Muslim dari berbagai negara. Ilustrasi umat Islam
Foto: Republika/Yasin Habibi
Keberadaan Muslim di Portugal didominasi para imigran Muslim dari berbagai negara. Ilustrasi umat Islam

REPUBLIKA.CO.ID, Portugal adalah negara multietnis dan multiagama. Terdapat komunitas warga Afrika, Amerika Latin, hingga Asia di sana. Pun halnya dengan agama, ada pemeluk Hindu, Buddha, Sikh, Yahudi, serta Islam.

Jumlah umat Muslim diperkirakan mencapai 30 ribu jiwa. Mereka berasal  dari berbagai etnis, terutama dari Mozambik, Kenya, Makao, Pulau Goa di India, bagian timur Indonesia, dan keturunan orang-orang Muslim India.

Baca Juga

Tak ketinggalan kaum Muslimin yang datang dari Afrika Barat dan Timur Tengah, seperti Mesir, Maroko, dan Aljazair. Ada pula para mualaf Portugal walaupun jumlahnya tidak terlampau banyak. 

Kedatangan imigran Muslim ke Portugal mulai berlangsung selepas Perang Dunia II. Momen penting terjadi pada 1968, yakni untuk pertama kalinya didirikan sebuah lembaga Islam di Lisabon bernama al-Jamaah al-Islamiyyah lilisybunah. 

Melalui lembaga ini, berbagai aktivitas keagamaan umat dapat dikoordinasikan sehingga lebih terarah. Selain itu, lembaga tersebut juga menjadi bukti eksistensi umat semakin diakui. 

Seiring makin meningkatnya arus imigran Muslim ke negara ini di era tahun 70-an, pemerintah bersedia memberikan sebidang tanah di ibu kota Lisabon untuk dimanfaatkan membangun masjid dan Islamic Center. 

Butuh waktu untuk menyelesaikan pembangunan masjid yang cukup besar dan representatif. Hingga pada 29 Maret 1985, harapan umat Muslim Portugal untuk memiliki masjid raya terwujud. 

Peresmian Masjid Agung Lisabon kala itu dihadiri oleh presiden Portugal, perdana menteri, pejabat sipil, dan militer serta diplomat dari negara-negara Islam. Masjid ini dibangun atas bantuan dari sejumlah negara Islam, antara lain Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Libya, Pakistan, Lebanon, Oman, Mesir, Yordania, dan Iran.  

Umat berharap, keberadaan masjid itu akan mempererat hubungan antaragama di Portugal. Dengan demikian, toleransi umat beragama bisa lebih ditingkatkan di masa mendatang. 

Periode tahun 80 sampai 90-an bisa dikatakan menjadi masa-masa penuh harmoni dalam kehidupan masyarakat di Portugal. Umat Islam dan umat agama lain bisa melaksanakan peribadatan dengan leluasa. 

Masjid, mushala, dan sekolah Islam pun banyak didirikan. Portugal lantas memiliki dua masjid jami dan 17 mushala, sebagian besar terletak di Lisabon, Coimbra, Filado, Evoradi, dan Porto. 

Sekolah Dar al-Ulum al-Islamiyyah melengkapi sarana pendidikan di Lisabon. Sekolah ini setingkat dengan sekolah menengah pertama dan menengah atas. 

Di samping itu, sejumlah masjid dan mushala turut membuka kelas halaqah tahfiz Alquran al-Karim, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu Islam. Kaum Muslim juga menerbitkan sejumlah jurnal berbahasa Portugal dan berbahasa Arab seperti majalah Islam. 

Pada milenium baru, kondisinya berubah 180 derajat. Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), berimbas terhadap umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Portugal. 

Harmonisasi terusik. Hal itu bukan disebabkan pembatasan-pembatasan dari pemerintah, melainkan dari sikap sebagian warga setempat yang mengaitkan Islam dengan kekerasan. 

Sebuah kolom dalam surat kabar The Public agaknya bisa mewakili suasana Islamofobia yang sedang melanda. Tulisan Dr Miguel Sousa Tavares, cendekiawan setempat, misalnya, memuat judul yang dinilai provokatif; Islam, Terror and Lies.  

Tokoh lainnya tak jarang mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada intoleransi. Awal tahun 2009, seorang pemimpin agama di Lisabon sempat memicu kontroversi baru atas komentarnya terkait perkawinan antara Muslim dan non-Muslim.

Dia menyarankan agar wanita non-Muslim berpikir dua kali sebelum menikah dengan pria Muslim. ''Anda hanya dapat berdialog dengan orang yang bersedia berdialog. Dengan umat Muslim, dialog sulit dilakukan,'' kata pemimpin agama ini.

Sejumlah kelompok hak asasi manusia memberikan kecaman. Mereka menilai pernyataan itu tidak sejalan dengan semangat toleransi antarumat beragama yang sedang terus dibina.   

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement