Jumat 09 Oct 2020 22:43 WIB

Masjid Menara Kudus Simbol Pribumisasi Ajaran Islam

Bangunan di sekeliling masjid juga banyak yang mirip dengan bangunan candi.

Warga melintas di depan Masjid Menara Kudus di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (6/5/2020). Masjid yang merupakan bangunan cagar budaya yang berarsitektur perpaduan budaya Islam dengan budaya Hindu tersebut dibangun pada masa Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi dan menjadi objek wisata ziarah ke makam Sunan Kudus yang terletak di sisi barat kompleks masjid itu
Foto: ANTARA/YUSUF NUGROHO
Warga melintas di depan Masjid Menara Kudus di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (6/5/2020). Masjid yang merupakan bangunan cagar budaya yang berarsitektur perpaduan budaya Islam dengan budaya Hindu tersebut dibangun pada masa Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi dan menjadi objek wisata ziarah ke makam Sunan Kudus yang terletak di sisi barat kompleks masjid itu

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kunci sukses dakwah Sunan Kudus terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.

Dari sekian masjid bersejarah di Indonesia, Masjid Menara Kudus (Jawa Tengah) punya keunikan tersendiri. Sebuah menara mirip candi berdiri anggun di sebelah kiri depan masjid. Banyak masyarakat awam, bahkan para arkeolog yang bertanya-tanya, bagaimana elemen masjid mengadopsi model bangunan tempat ibadah umat Hindu dan Buddha.

Tidak hanya menara, bangunan-bangunan di sekeliling masjid juga banyak yang mirip dengan bangunan candi. Gapura di depan masjid yang tersusun dari batu bata tanpa semen tidak lain merupakan ciri khas candi di Jawa Timur. Ada juga pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni 'Delapan Jalan Kebenaran' atau Asta Sanghika Marga.

Menara menjadi elemen masjid yang paling menonjol. Sehingga, masjid yang semula bernama Masjid Al-Aqsa itu kemudian terkenal dengan Masjid Menara Kudus. Percampuran yang begitu mencolok antara ciri-ciri kebudayaan Hindu-Buddha dengan Islam memunculkan banyak cerita seputar awal mula berdirinya masjid. Ada cerita yang bersumber dari sejarah, namun tak sedikit pula yang bernuansa mitos.

Cerita tersebut, baik sejarah maupun mitos itu, sejatinya ingin menjelaskan bagaimana sang pendiri masjid, Sunan Kudus, melakukan dakwah Islam secara bijaksana (hikmah). Hasil dakwahnya sangat luar biasa. Penduduk setempat yang dahulunya pemeluk taat ajaran Hindu-Buddha, beralih memeluk ajaran tauhid (Islam). Kunci sukses Sunan Kudus terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.

Sunan Kudus dikenal sebagai seorang ahli agama, terutama dalam disiplin ilmu tauhid, hadis, dan fikih. Dari sembilan wali yang diakui di Tanah Jawa, hanya beliau yang bergelar 'Waliyyul Ilmi' (wali yang berpengetahuan luas).

Konon, Sunan Kudus sangat menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di masyarakat Loaram--nama lama Kota Kudus. Ada sebuah tradisi keagamaan yang begitu mengakar kuat, yaitu larangan menyembelih sapi. Bagi masyarakat Hindu, menyembelih sapi adalah tindakan terlarang, tidak boleh secara agama. Untuk menghormati tradisi agama yang sudah berlaku itu, Sunan Kudus pun melarang pengikutnya menyembelih sapi.

Suatu ketika Sunan Kudus mengikat sapi di pekarangan masjid. Setelah umat Hindu datang ke pekarangan itu, Sunan Kudus menyampaikan nasihat keagamaan. Model dakwah sang Sunan yang demikian itu sangat menggugah kesadaran keagamaan banyak orang. Mereka pun berbondong-bondong beralih keyakinan menjadi Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement