Senin 12 Oct 2020 09:40 WIB

Putri Chris Cornell Sebut Bunuh Diri Sang Ayah Bisa Dicegah

Chriss Cornell meninggal dunia bunuh diri 2017 lalu karena adiksi dan depresi.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Chriss Cornell meninggal dunia bunuh diri 2017 lalu karena adiksi dan depresi (Foto: Chriss Cornell)
Foto: AP Photo/Nam Y. Huh
Chriss Cornell meninggal dunia bunuh diri 2017 lalu karena adiksi dan depresi (Foto: Chriss Cornell)

REPUBLIKA.CO.ID, DETROIT -- Toni Cornell, putri mendiang musisi Chris Cornell, mengatakan, kematian ayahnya karena bunuh diri seharusnya bisa dicegah. Remaja yang masih berusia 16 tahun itu meluncurkan kampanye edukasi tentang adiksi alias kecanduan.

Chris yang merupakan vokalis band Soundgarden ditemukan tewas dengan kondisi tergantung di kamar hotel Detroit, Michigan, AS, 17 Mei 2017. Semasa hidupnya, Chris berjuang melawan kecanduan dan depresi selama bertahun-tahun.

Baca Juga

Pada surat terbuka untuk merilis situs StopStigma.org, Toni menulis bahwa semestinya tidak ada lagi nyawa melayang akibat kondisi serupa. Akan tetapi, semua orang perlu memahami mengenai kecanduan dan cara mengatasinya.

Menurut Toni, kecanduan merupakan penyakit dan bukan suatu cacat moral. Dia mengatakan, sang ayah tidak pernah mengharapkan hidup yang sempurna. Disampaikan Toni, Chris dekat dengan kondisi adiksi sejak kecil karena ayah dan ibu Chris adalah pecandu alkohol.

Pada usia 14 tahun, Chris bereksperimen dengan berbagai obat, termasuk PCP yang menyebabkan gangguan panik. Dia sendirian dan tanpa dukungan, tapi terus berjuang dan akhirnya sadar untuk berubah, menjalani hidup yang penuh kemungkinan.

Chris bercerita kepada keluarganya, termasuk Toni, mengenai semua kesalahan dan pelajaran yang dia dapatkan. Mendiang berbagi bagaimana dia mengatasi kecemasan, tapi juga menyadari bahwa alkohol telah menyeretnya kembali menjajal narkoba.

"Dia mengajari kami pentingnya memahami kecanduan. Pendidikan kecanduan sangat penting. Namun itu adalah sesuatu yang tidak diajarkan dan tidak cukup didiskusikan," kata Toni, dikutip dari laman Ultimate Classic Rock, Senin (12/10).

Chris kerap mengibaratkan kecanduan seperti alergi, menyebutnya sebagai kondisi genetik. Dia juga mengatakan bahwa kecemasan sangat wajar, bisa memengaruhi siapa saja dalam berbagai cara berbeda.

Karena itu Toni dan keluarga sedih karena obat-obatan mengubah pemahaman yang semula diajarkan sang ayah. Meski demikian, momen tragis saat Chris berpulang tidak mengubah siapa dia di mata orang terkasih dan keluarganya.

Toni menyerukan untuk menghentikan stigma terhadap pasien kecanduan. Perspektif bahwa kecanduan adalah penyakit, bisa menyelamatkan nyawa, sementara tudingan bahwa kecanduan merupakan cacat moral, malah berpotensi mengakhiri hidup.

"Saya merindukan ayah saya setiap detik setiap hari. Saya tahu dia tidak ingin kematiannya sia-sia. Saya berharap orang lain dapat belajar dari rasa sakit dan pengalaman kami, berharap kami dapat menghentikan hal sama terjadi pada keluarga lain yang terkena penyakit ini," kata Toni.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement