Kamis 15 Oct 2020 14:37 WIB

Perkara yang Picu Imam Ghazali Gelisah di Puncak Karier 

Imam Ghazali menemukan kegelisahannya saat berada di puncak karier.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Imam Ghazali menemukan kegelisahannya saat berada di puncak karier. Ilustrasi wajah Imam Al-Ghazali.
Foto: ristu-hasriandi.blogspot.com
Imam Ghazali menemukan kegelisahannya saat berada di puncak karier. Ilustrasi wajah Imam Al-Ghazali.

REPUBLIKA.CO.ID, Selama di Baghdad, kota berjuluk seribu satu malam itu, Imam al-Ghazali menyibukkan diri dengan ma jelis-majelis ilmu. Dia juga kerap memberikan nasihat kepada kalangan istana, termasuk Nizam al-Mulk. 

Surat-surat yang berisi petuahnya kepada sang wazir terhimpun dalam karyanya, Nasihat al-Mulk. Salah satu pesannya mengimbau pemimpin agar selalu berpihak pada kaum papa, terutama mereka yang darah dan keringatnya dihisap pegawai pemerintah yang korup. Lebih lanjut, rasa syukur terbaik yang bisa dipanjatkan seorang penguasa ialah dengan menegakkan kebenaran serta menghapus penindasan.  

Baca Juga

Empat tahun sudah Imam Ghazali memegang jabatan tinggi di Akademi Nizamiyah. Suatu ketika, dia merenungi perjalanan hidupnya sejauh ini, terutama setelah mempelajari teologi (ilmu kalam) sejak dari al-Juwaini. Ilmu kalam membahas berbagai aliran yang kadang kala satu sama lain saling berkontradiksi. 

Ghazali mulai merasa, sudah tiba waktu baginya untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Dia meyakini, pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera tak dapat dipercaya. Sebab, kelima indra itu dapat salah. Pada awalnya, Ghazali meletakkan kepercayaan pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal, tetapi kemudian hal ini juga tak memuaskannya.

Krisis spiritual dan intelektual yang dialaminya itu terekam dalam karyanya, al-Munqidz Mina adh-Dhalal. Selama enam bulan, Ghazali mengalami kegelisahan batin. 

Dia bimbang, apakah meneruskan posisinya sebagai pengajar atau berhenti. Sebab, dia sudah teranjur skeptis pada keandalan akal rasional dan metode empiris sebagai jalan menuju kebenaran. Satu-satunya pilihan yang baginya terbuka lebar ialah jalan salik, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu yang tercerahkan iman kepada Allah SWT. Tasawuf telah menghilangkan segala kesangsian dalam dirinya.  

Pada 1905, Imam Ghazali meletakkan jabatan di Akademi Nizamiyah. Dia hendak mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa bekal secukupnya. Kepada keluarganya, dia meninggalkan sejumlah harta yang memadai sebagai nafkah. Rekan-rekannya menganggap, Ghazali akan menunaikan ibadah haji, padahal faktanya lebih dari itu. Dia berupaya menempuh rihlah yang akan memalingkannya dari kekayaan, pangkat, popularitas, dan segala pernak-pernik duniawi. 

Usai musim haji, para petinggi negeri pun terkejut. Sebab, Ghazali tak kunjung pulang ke Baghdad. Raja Seljuk lantas memerintahkan para bawahannya agar segera menelusuri keberadaan penasehatnya itu. Untuk menghilangkan jejak, Ghazali pergi ke Damaskus (Suriah) lalu Baitul Maqdis. 

Di kota suci itulah dia mengarang Ihya Ulumuddin (sumber lain menyebut, kitab monumental itu ditulis saat pengarangnya tinggal di Masjid Damaskus). Saat mengunjungi makam Nabi Ibrahim AS di Hebron, dia mengucapkan sumpah, tak akan lagi bersedia menjadi pegawai negeri, termasuk mengajar di lembaga-lembaga yang didirikan penguasa.

Usai dari Yerusalem, Imam Ghazali melak sanakan haji ke Tanah Suci serta mengunjungi makam mulia Rasulullah SAW pada 1096. Setelah itu, dia pergi menuju Tus, daerah tempat kelahirannya. Di sanalah dia kemudian mendirikan halaqah atau majelis ilmu yang diperuntukkan para calon sufi. 

Pada 1105, Fakhr al-Mulk mendesaknya agar bersedia mengajar di Madrasah Nizamiyah lagi. Dengan alasan tertentu, dia pun mengalah sehingga kembali ke Nishapur, pusat pemerintahan saat itu, untuk memenuhi permintaan putra Nizam al-Mulk itu. Tugas ini tak lama diembannya. Dirinya pamit dari kota itu untuk kembali membimbing para murid di halaqah yang didirikannya.  

Ulama yang zuhud dan wara ini menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang sufi 10 tahun lamanya. Masyarakat sangat mencintainya sebagai sosok teladan dalam ilmu dan amal. Pada 19 Desember 1111, Imam Ghazali meninggal dunia di Tus dalam usia 53 tahun.

Ibnul Al-Jauzi dalam al-Muntadzim menuturkan riwayat, menjelang wafatnya (Imam Ghazali), sebagian para muridnya meminta, `Berwasiatlah kepadaku, wahai guru.'Maka al-Ghazali menjawab, `Hendaklah engkau tetap ikhlas.' Nasihat itu terus terucap hingga ajal menjemputnya.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement