Rabu 21 Oct 2020 13:49 WIB

Erdogan: Istilah 'Islam Prancis' adalah Serangan pada Muslim

Erdogan mengkritik inisiatif Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk reformasi Islam.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Erdogan: Istilah 'Islam Prancis' adalah Serangan pada Muslim. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: Turkish Presidency via AP, Pool)
Erdogan: Istilah 'Islam Prancis' adalah Serangan pada Muslim. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebutkan istilah populer baru-baru ini seperti 'Islam Prancis, 'Islam Eropa', dan 'Islam Austria' adalah contoh terbaru dari upaya serangan terhadap Islam dan Muslim. "Ada upaya membuat profil warga Muslim yang tidak mengangkat suaranya ke kebrutalan, tetap diam terhadap kekejaman, yang pasif, malu-malu, penakut dan sederhana," Erdogan lebih lanjut memperingatkan.

Menurut Erdogan, mereka mencoba memiliki sistem anti-Islam di mana agama hanya tinggal di dalam rumah, tanpa kelonggaran terhadap berbagai simbol dan prinsip agama di jalan-jalan, pasar, dan kehidupan sosial. Ia mengatakan, sistem tersebut dengan agama di bawah kendali negara diambil di bawah tekanan dan berusaha dibentuk.

Baca Juga

Hal itu menurutnya bukanlah demokrasi, melainkan totalitarianisme. Ia lantas menegaskan tidak seorang pun, terutama negara-negara Muslim, yang bisa membiarkan ketidakpedulian semacam itu.

Dia juga mengkritik inisiatif Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mereformasi Islam. Ia menyebut Macron menggunakan krisis yang menjadi tanggung jawab negaranya sebagai alasan untuk menyerang agama.

"Tujuan utama inisiatif yang dipimpin Macron adalah menempatkan alasan lama dengan Islam dan Muslim," kata Erdogan dalam pidatonya yang direkam untuk KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Selasa, dilansir di Daily Sabah, Rabu (17/10).

"Orang-orang yang terganggu dengan kebangkitan Islam menyajikan krisis yang mereka ciptakan sendiri sebagai alasan menyerang agama kita. Retorika anti-Muslim, Islam saat ini adalah alat paling berguna dari politikus Barat untuk menutupi kegagalan mereka sendiri," ujarnya.

Pekan lalu, Macron berpendapat separatisme Islam adalah masalah. Ia mengatakan, masalahnya adalah ideologi yang mengklaim hukumnya sendiri harus lebih unggul dari yang ada di republik Prancis.

Pada 2 Oktober 2020, Macron mengeluarkan undang-undang baru yang akan memperpanjang larangan lambang agama, yang terutama mempengaruhi wanita Muslim yang mengenakan jilbab atau kerudung, kepada karyawan sektor swasta yang menyediakan layanan publik. Negara bagian juga akan memiliki kekuasaan mengambil langkah di mana otoritas lokal membuat konsesi yang tidak dapat diterima bagi Muslim. Misalnya, kata dia, 'menu religius' di kantin sekolah atau akses terpisah ke kolam renang.

RUU tersebut mengusulkan pembatasan homeschooling untuk menghindari anak-anak 'diindoktrinasi' di sekolah tidak terdaftar yang diduga menyimpang dari kurikulum nasional. RUU tersebut diperkirakan akan dikirim ke parlemen awal bulan ini.

Pidato Macron tersebut dikecam secara luas oleh Muslim Prancis. RUU itu akan diajukan ke parlemen pada Desember mendatang. Mereka khawatir RUU tersebut dapat memicu penyalahgunaan hak-hak mereka.

Menurut rencana kontroversial tersebut, beberapa organisasi non pemerintah (LSM) atau organisasi yang 'bertindak melawan hukum dan nilai-nilai negara' mungkin ditutup atau menghadapi audit keuangan yang ketat. Hal ini telah menuai kritik di mana beberapa perwakilan komunitas Muslim menggambarkan langkah tersebut sebagai islamofobia dan diskriminatif.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement