Senin 26 Oct 2020 15:38 WIB

Menimbang Tradisi Literasi Pesantren

Metode literasi keilmuan di pesantren juga tidak kalah penting.

Santri tempo dulu tengah mengaji.
Foto: google.com
Santri tempo dulu tengah mengaji.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Mahbub Alfathon, Filolog di Perpustakaan Nasional dan fellow researcher di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH-UI)

Beleid Peraturan Menteri Agama tentang Pesantren sudah lolos uji publik, pekan lalu. Aturan teknis turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 ini akan menata pesantren dari sisi pendirian dan penyelenggaraan, serta kurikulum pendidikan yang meliputi muadalah, diniyah formal, dan mengaji kitab kuning.

Artinya, ijazah seorang santri tak hanya berstatus “diridai” oleh kiai, melainkan juga negara mengakuinya setara dengan pendidikan formal lain di semua tingkatan.

Tentunya ini menjadi kabar gembira bagi kalangan santri dan pengasuh pesantren. Nilai-nilai pesantren akan lebih dikenal luas oleh masyarakat dan diharapkan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para orangtua dengan latar belakang pendidikan modern-Barat.

Satu alasan kenapa pesantren harus mendapatkan status sama—atau mungkin lebih tinggi—dalam tataran lembaga pendidikan di Indonesia, yakni sejarah panjang tradisi literasi keilmuannya. Tradisi literasi dan keilmuan di pesantren, dengan kitab kuning sebagai titik episentrumnya, mengadopsi metode pengajaran kitab di Timur Tengah yang sudah teruji keberhasilannya sejak abad pertama Hijriah.

Kapan persisnya mulai digunakan di Nusantara bisa menjadi diskusi dalam tulisan tersendiri. Yang jelas, metode pembelajarannya sangat ketat dan kompleks. Para santri diwajibkan melahap ratusan kitab kuning, mulai dari tafsir Al-Quran, hadits, fiqh, dirosah lughawiyah (kajian bahasa), logika (mantiq), hingga tasawuf.

Semua santri dari tingkat dasar (ula), menengah (wustha), hingga lanjutan (ulya), pasti  mendapatkan pengajaran kitab kuning. Tingkat kesulitannya mengikuti jenjang. Misalnya, santri tingkat ula akan diajarkan kitab-kitab seperti tata bahasa Arab mula dan yang menerangkan tentang akhlak mulia serta adab. Semakin tinggi jenjang, kitabnya semakin rumit.

Namun begitu, pondok pesantren bukan berarti melulu mengajarkan agama. Tema lain juga diajarkan, tergantung dari minat dari santri. Salah satunya tentang humor, seperti Ugala al-Majanin (Kitab Kebijaksanaan Orang Gila) dan Akhbarul Hamqa wal Mughaffalin (Logika Orang-orang Bodoh). Ada juga tema sastra yang jarang terekspos, seperti al-Mu’allaqat (Syair-syair Pra-Islam). Di tingkat lanjut, ada kitab Sulamul Munawraq yang berisi ilmu logika.

Selain kitab kuning, metode literasi keilmuan di pesantren juga tidak kalah penting. Ada tiga metode klasik yang masih digunakan hingga kini, khususnya di pesantren-pesantren tradisional salaf. Metode tersebut, yaitu bandongan, sorogan, dan syawara.

Bandongan berarti bersama-sama. Sekelompok santri, biasanya 5 sampai 50 orang, mendengarkan kiainya membaca, menerjemahkan, serta menerangkan kitab kuning dalam bahasa Arab. Cara penyampaian dan penerjemahannya mulai dari kata per kata, frasa per frasa, hingga kalimat secara utuh, agar santri paham arti dan fungsi kata dalam satu rangkaian kalimat.

Kemudian tiap-tiap santri wajib membuat catatan, baik dalam bentuk arti secara harfiah maupun dengan keterangan. Tak jarang pula mereka menambahkan penjelasan tambahan dari hasil tafsirannya (syarh) dalam bahasa ibu masing-masing. Syarh inilah yang pada akhirnya melahirkan kitab-kitab baru yang beberapanya juga dikaji di pesantren. Bandongan biasa dilakukan bakda Maghrib, Isya, atau Subuh di masjid pesantren.

Berbeda dengan bandongan yang dilakukan beramai-ramai dan klasikal, metode pembelajaran sorogan (menyodorkan atau menyetorkan) bersifat lebih privat. Seorang santri berhadapan langsung dengan kiai atau gurunya. Kiai akan membacakan terlebih dahulu ayat Al-Quran atau bab dari sebuah kitab, kemudian santri akan mengikutinya, bahkan wajib dihafalkan secara benar dan tepat. Materi baru akan berpindah jika santri tersebut sudah hafal di luar kepala. Hal itu tentu menuntut disiplin dan kesabaran pribadi seorang santri.

Selanjutnya, syawara atau musyawarah. Metode ini lebih menekankan hubungan antarsantri. Setelah mengaji bersama kiai, baik secara bandongan maupun sorogan, para santri membentuk kelompok belajar untuk membahas materi yang sudah diajarkan. Tak jarang dalam sesi musyawarah ini muncul wacana segar tentang bahasan yang sedang dikaji dari kitab kuning. Melalui cara ini para santri dilatih untuk merumuskan ide, mengemukakan pendapat sendiri, dan menerima kritik orang lain.

Ada spirit (ruh) yang selalu hadir dan membangun karakter para santri melalui tradisi literasi keilmuan tersebut. Pertama, guru atau kiai. Adab kepada kiai menjadi kata kunci utama dalam konteks ini. Seorang kiai sangat dihormati, dihargai, bahkan dianggap sebagai pembawa keberkahan. Sosok kiai menjadi pintu keberhasilan dalam proses transfer adab, akhlak, dan ilmu santri.

Ruh kedua ialah penghayatan adab, akhlak, dan ilmu. Dari pertemuan secara empat mata dengan kiai, berdiskusi dengan sesama santri, hingga kedisiplinan yang dibentuk secara tidak langsung, ada kesadaran kolektif para santri untuk bisa menyaring mana yang baik untuk dirinya dan mana yang tidak. Juga, ada kesadaran tentang bagaimana santri bisa memajukan sebuah masyarakat melalui ilmu yang didapatkan di pesantren. Kesadaran ini lahir dari penghayatan yang dibentuk selama bertahun-tahun selama berada di pesantren.

Selanjutnya ialah ruh keberkahan dan kemanfaatan ilmu. Ruh ini yang kemudian menggerakkan santri dalam tahap implementasi di tengah masyarakat. Tiap santri selalu ditanamkan pandangan, bahwa ilmu yang berkah akan memberikan manfaat dan mengandung kebaikan di dalamnya.

Salah satu tandanya, ilmu tersebut diamalkan oleh dirinya sendiri dan kepada orang lain. Karena ruh-ruh inilah, tak jarang tiap santri menjadi pakar di bidang yang digelutinya. Tak terhitung pula santri yang menjadi tokoh besar hasil gemblengan tradisi literasi dan keilmuan di pesantren.

Sebetulnya, secara tidak langsung metode literasi keilmuan pesantren diadopsi ke dalam sistem pendidikan modern Indonesia di semua jenjang. Pengajaran di kelas adalah bentuk pengejawantahan dari bandongan. Pembuatan tugas secara individu sangat mirip dengan sorogan. Dan diskusi kelompok bisa dikatakan termasuk musyawarah.

Sayangnya, sistem pendidikan nasional melalui kurikulum yang acap berubah tiap berganti rezim, tidak mengikutkan ruh-ruh yang dijelaskan sebelumnya. Posisi guru, mendahulukan adab sebelum ilmu, serta asas manfaat, yang juga pernah digaungkan Ki Hajar Dewantara saat mendirikan Taman Siswa pada 1922 tampaknya tidak larut dalam sistem pendidikan kita.

Pendidikan modern kita saat ini terkesan hanya dirancang untuk mengejar ketertinggalan skor PISA (Programme for International Student Assestment) yang pada 2019 menyatakan Indonesia berada di peringkat 73 dari 77 negara. Yang ada kemudian hanyalah penyamarataan sistem pendidikan nasional dari Sabang hingga Merauke.

Lolosnya beleid Peraturan Menteri Agama tentang Pesantren dalam uji publik tampaknya harus menjadi momentum reflektif bagi para pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan literasi untuk menjadikan tradisi literasi keilmuan pesantren sebagai salah satu dasar sistem di Indonesia. Tujuannya, agar bisa merumuskan strategi yang cocok untuk pendidikan nasional kita yang memiliki kekhasan di tiap daerah, seperti halnya pesantren yang memiliki corak multikultural tapi sekaligus memiliki satu model literasi keilmuan yang paten.

Patut diakui, hingga saat ini pesantren telah berhasil dalam perannya sebagai lembaga pendidikan yang melestarikan budaya dan tradisi literasi klasik Islam kepada santri-santrinya. Tradisi literasi keilmuan pesantren pada akhirnya melahirkan dua corak pemikiran utama.

Pertama, bersifat normatif-teologis, menggunakan keilmuan Islam untuk membendung dampak negatif dari modernisasi. Kedua, bersifat historis-kritis, melihat semua pandangan ulama yang lahir pada masanya sedikit-banyak mendapatkan pengaruh dari kondisi politik, ideologi, sosial-budaya, dan ekonomi yang berkembang kala itu.

Meski terkesan sangat bertolak belakang, tapi kedua corak ini sama-sama mampu menjadi wacana alternatif dari berbagai pemasalahan bangsa.

Demikian panjang sejarah tradisi literasi keilmuan di pesantren hingga akhirnya bisa membentuk masyarakat santri yang madani seperti sekarang ini. Mungkinkah ruh tersebut bisa terus tumbuh dan menjadi spektrum hingga mempertajam kepekaan, spiritualitas, dan etika ekologis dalam tataran negara-bangsa?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement