Jumat 30 Oct 2020 05:40 WIB

Lusi Ismail Beralih dari Entrepreneur Menjadi Sociopreneur

Ia alumni IPB dan pernah pernah menjadi perangkai bunga di istana presiden.

Ekanti Lusi Sulistiowaty  atau Lusi Ismail (kanan), sociopreneur alumni IPB.
Foto: Dok IPB University
Ekanti Lusi Sulistiowaty atau Lusi Ismail (kanan), sociopreneur alumni IPB.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Namanya Ekanti Lusi Sulistiowaty  atau Lusi Ismail, salah satu perangkai bunga dan interiorscaper di Indonesia. Ia merupakan alumnus Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB University.

Pendiri PT Edelweiss Cantiqa Lestari sejak 2008 ini kini telah beralih dari seorang entrepreneur menjadi sociopreneur. Setelah lulus, Lusi Ismail pernah menjadi penata flora di Istana Presiden selama belasan tahun, tepatnya 2002-2013. Ia juga tergabung dalam organisasi Asosiasi Bunga Indonesia dan Ikatan Perangkai Bunga Indonesia.

Menurutnya, menjadi sociopreneur bukanlah merupakan profesinya yang instan. Sejak dahulu Lusi telah memiliki jiwa sosial yang tinggi untuk dapat bermanfaat bagi orang lain. "Pengalaman saya menjadi entrepreneur, sisi sosial itu sudah dibangun sebenarnya. Karena,  memang dari sejak awal hobi  saya itu adalah berbagi, sampai akhirnya menjadi sociopreneur,” terangnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, perbedaan antara entrepreneur dan sociopreneur terletak pada tujuan utama yang dituju. Pasalnya, entrepreneur memiliki identitas untuk meraih keuntungan berbasis materi. Sedangkan sociopreneur akan memiliki tujuan utama sosial yang pada beberapa sisi dapat memberikan keuntungan. "Sociopreneur itu siap untuk tidak dibayar dan siap untuk dibayar berapa saja," ungkapnya.

Semasa kuliah, Lusi tidak memiliki minat untuk bekerja di perusahaan. Ia lebih memilih untuk menghasilkan uang dan berkarir dari apa yang ia tekuni. Bermula dari menikmati pengalaman ketika jalan kaki di kampus IPB University dengan mengoleksi bunga-bunga di jalanan. Lusi terus menekuni hal tersebut hingga mengantarkannya ke Negeri Sakura dalam sebuah event internasional. Saat itu ia dikirim oleh Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) yang saat ini organisasinya bernama Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Ditjen PEN).

"Kuncinya itu adalah scan, screen dan implement. Saya menjadi laboratorium untuk diri sendiri. Scan maksudnya adalah kita scan diri kita yaitu muhasabah, sedangkan screen itu penyaringan pada apa yang kita scan, sampai akhirnya nanti tahu apa yang bisa diimplementasikan. Scan, screen maupun implement, semuanya membutuhkan pengetahuan,” tandasnya.

Pada masa pandemi, sektor yang digeluti Lusi menjadi bagian dari sektor yang terdampak. Namun hal ini tidak lantas membuat semangatnya surut, Lusi tetap mampu berkarya dengan menjadi narasumber di berbagai acara untuk berbicara tentang interiorscaper dan budidaya tanaman hias di dalam atau luar ruangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement