Ahad 01 Nov 2020 14:27 WIB

Pemerintah Perlu Siapkan Regulasi Blended Learning

Kegiatan belajar mengajar di pendidikan tinggi akan menggunakan blended learning

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Gita Amanda
 Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik UGM, Hatma Suryatmojo, mengatakan wajah kegiatan belajar mengajar di lingkungan pendidikan tinggi kedepannya akan dilakukan dengan metode blended learning.
Foto: Tangkapan layar
Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik UGM, Hatma Suryatmojo, mengatakan wajah kegiatan belajar mengajar di lingkungan pendidikan tinggi kedepannya akan dilakukan dengan metode blended learning.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu menyiapkan regulasi terkait blended learning. Sebab, Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik UGM, Hatma Suryatmojo, mengatakan wajah kegiatan belajar mengajar di lingkungan pendidikan tinggi kedepannya akan dilakukan dengan metode blended learning.

Saat ini, metode blended learning sudah diterapkan dalam kegiatan perkuliahan. Terlebih saat pandemi Covid-19 ini yang memaksa sistem pembelajaran dilakukan dilakukan secara daring.

"Dukungan kebijakan termasuk regulasi dan implementasinya dalam mendukung blended learning perlu disiapkan pemerintah dengan baik," kata Hatma dalam Focus Group Discussion yang digelar Republika melalui Zoom, Sabtu (31/10).

Ia berharap, regulasi blended learning ini dapat segera disiapkan. Hal ini mengingat kebutuhan kegiatan perkuliahan yang cukup besar akan blended learning, yang mana memadukan antara kegiatan perkuliahan secara konvensional dengan daring.

"Mudah-mudahan tahun ini (sudah ada regulasi). Sehingga tahun depan bisa bergerak ke arah sana (blended learning)," ujarnya.

Untuk mendukung blended learning ini, sarana dan prasarana menjadi hal yang harus diperhatikan. Sebab, ketersediaan akses internet belum merata di seluruh daerah di Indonesia.

Terutama di daerah 3T atau daerah tertinggal, terdepan dan terluar di Indonesia. Menurutnya, sekitar 130 kabupaten kota di Indonesia yang termasuk dalam daerah 3T dan tidak tersentuh akses internet.

"150 ribu mahasiswa tidak memiliki akses terhadap internet, termasuk akses terhadap gadget. Ini permasalahan besar yang harus dilakukan dan diatasi," jelasnya.

Selain itu, Sekretaris Majelis Diktilitbang Muhammadiyah, Muhammad Sayuti mengatakan, masih ada perguruan tinggi di Indonesia yang kewalahan dalam pembelajaran daring di masa pandemi ini. Bahkan, ketersediaan infrastruktur dalam menunjang blended learning di Indonesia juga belum maksimal.

"Disparitas infrastruktur teknologi di Indonesia sangat senjang. Saat saya S2 di Australia tahun 2008, sudah blended learning, kesenjangannya 12 tahun. Sementara kita di 2020 ini terpental pental melaksanakan itu," katanya.

Sayuti menjelaskan, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) sendiri telah menyediakan fasilitas untuk menunjang pembelajaran secara daring. Bahkan, ada anggaran yang dihentikan dan dialihkan untuk memperbaiki fasilitas internet guna memudahkan mahasiswa untuk mengakses pembelajaran daring.

Namun, masih ada kendala yang ditemukan oleh pihaknya. Yaitu ada beberapa mahasiswa yang masih belum dapat menjangkau akses internet di daerah tempat tinggalnya.

Hal ini tentunya dapat menghambat proses pembelajaran. Untuk itu, ketersediaan sarana dan prasarana untuk menunjang pembelajaran daring ini perlu disiapkan, baik itu pemerintah maupun provider yang menyediakan layanan akses internet.

"Ada kekagetan teknologi dan jaringan yang dialami mahasiswa. kita siapkan LMS (Learning Management System), tapi saat sudah disiapkan dengan baik, mahasiswa tidak punya akses internet," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement