Senin 02 Nov 2020 16:45 WIB

Negara Muslim Diminta Putuskan Hubungan dengan Prancis

Umat Islam tidak boleh diam melihat penghinaan yang dilakukan Macron.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Negara Muslim Diminta Putuskan Hubungan dengan Prancis. Massa dari berbagai ormas berunjuk rasa menentang sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait gambar Nabi Muhammad SAW di kawasan Kedubes Prancis, Jakarta, Senin (2/11/2020.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Negara Muslim Diminta Putuskan Hubungan dengan Prancis. Massa dari berbagai ormas berunjuk rasa menentang sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait gambar Nabi Muhammad SAW di kawasan Kedubes Prancis, Jakarta, Senin (2/11/2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ustadz Muhammad Yusran Hadi menyampaikan MIUMI Aceh mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron yang membela penerbitan karikatur Nabi Muhammad SAW dengan dalih kebebasan berekspresi. MIUMI Aceh juga mengecam pernyataan Macron bahwa Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia dan menuduh Islam sebagai agama radikal serta teroris.

Ustadz Yusran menyerukan para pemimpin negara Muslim mengecam dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Prancis serta melarang produk Prancis di negara mereka. Umat Islam tidak boleh diam melihat penghinaan yang dilakukan Macron.

Baca Juga

"Umat Islam wajib membela Rasul SAW dengan dengan segala cara, baik dengan kecaman melalui media-media, demo, aksi protes, memboikot produk Prancis, maupun cara lainnya yang memberikan tekanan dan pelajaran kepada pemerintah Prancis," kata Ustaz Yusran kepada Republika.co.id, Senin (2/11).

Menurutnya, para pemimpin negara-negara Muslim wajib protes dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Prancis. Inilah kewajiban dan bukti cinta seorang Muslim kepada baginda Rasulullah SAW. Ini juga bukti iman seseorang.

Ia juga menyerukan kepada umat Islam untuk bersatu membela Nabi Muhammad SAW dan agama dengan mengecam Presiden Macron dan orang-orang sejenisnya melalui media-media, aksi, demo dan lainnya. Ia mengatakan, penghinaan Macron dan orang-orang sejenisnya terhadap Islam dengan alasan kebebasan berekspresi tidak tepat.

"Kebebasan berekspresi seharusnya tidak menodai kehormatan, kesucian, dan simbol agama," ujarnya.

Ustadz Yusran menegaskan, tindakan Macron justru bertentangan dengan HAM berupa toleransi dan kebebasan kehidupan beragama yang selalu digaungkan oleh negara-negara Barat. Terlebih lagi keputusan pengadilan HAM Eropa pada 25 Oktober 2018 sudah menetapkan penistaan agama dan tokoh agama bukanlah bentuk kebebasan berekspresi. 

"Seharusnya dalam hal ini Macron lebih mementingkan kemaslahatan umum dengan mengikuti keputusan pengadilan HAM Eropa tersebut," ujarnya.

Ia menyampaikan Islam bukan agama radikal dan teroris. Justru yang radikal dan teroris itu sikap Macron dan orang-orang sejenisnya. Islam itu agama yang damai dan rahmatan lil a'lamin atau agama kasih sayang bagi seluruh penghuni dunia. 

Islam mengajarkan akhlak yang mulia, perdamaian dan kasih sayang. Sikap islamofobia Macron dan orang-orang sejenisnya tidak mengurangi sedikitpun kemuliaan dan keagungan Islam. Justru sebaliknya menambah kemuliaan Islam dan menimbulkan simpati orang-orang non-Muslim kepada Islam. 

"Tindakan Macron dan orang-orang sejenisnya merupakan pelanggaran HAM berupa kebebasan dan toleransi beragama yang selama ini didengung-dengungkan oleh negara-negara Barat sendiri. Oleh karena itu, Macron dan orang-orang sejenisnya harus dituntut dan diproses hukum sesuai dengan hukum HAM internasional," kata Ustadz Yusran.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement