Senin 09 Nov 2020 18:50 WIB

Dubes Prancis Jelaskan Makna Islamis

Dubes sebut Macron tak bermaksud mengecam Islam.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Massa dari aliansi ormas muslim berunjuk rasa menentang sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait gambar Nabi Muhammad SAW di kawasan Kedubes Prancis, Jakarta, Rabu (4/11/2020).
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Massa dari aliansi ormas muslim berunjuk rasa menentang sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait gambar Nabi Muhammad SAW di kawasan Kedubes Prancis, Jakarta, Rabu (4/11/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard mengatakan terdapat kesalahpahaman interpretasi terkait kata "Islamis" yang disinggung Presiden Emmanuel Macron dalam pidatonya beberapa waktu lalu. Menurut dia, Macron tidak bermaksud mengecam Islam.

Chambard menyebut ini adalah masalah semantik. "Ketika Anda menyebut 'Islamis', itu artinya ekstremis. Islamis di sini tidak bermakna Islamis. Mungkin ini salah satu alasan mengapa ada pikiran bahwa dia mengecam semua Islam. Ini adalah masalah budaya dan perbedaan pengertian kata yang bisa berbeda di satu negara atau lainnya," kata Chambard saat menggelar temu media di Kedubes Prancis di Jakarta pada Senin (9/11).

Baca Juga

Dia mengungkapkan setelah peristiwa pemenggalan Samuel Paty dan aksi penyerangan di gereja yang menyebabkan tiga orang tewas, Macron segera menyampaikan pidato. Dalam pidatonya, Macron menyatakan bertekad melawan terorisme.

"Pada saat yang sama dia (Macron) membuat perbedaan yang jelas antara ekstremisme yang berpura-pura mewakili Islam dan mayoritas Islam yang menganut keyakinannya," ucapnya.

Samuel Paty adalah guru yang dipenggal oleh muridnya. Peristiwa itu terjadi setelah Paty menunjukkan karikatur Nabi Muhammad saat mengajar kelas kebebasan berbicara. Chambard menekankan, Prancis yang menganut sekularisme tidak dapat menuntut perbuatan memperolok agama. Sebab hal itu tidak dikategorikan sebagai tindak kejahatan.

Kendati demikian, Prancis, termasuk Macron, menyadari bahwa penerbitan karikatur Nabi Muhammad dapat menggemparkan. "Saya berpikir banyak orang di Prancis akan menerima bahwa karikatur menyakiti orang-orang. Tapi mereka tidak berpikir bahwa mereka dapat dibunuh karena hal tersebut," kata Chambard.

Setelah surat kabar Charlie Hebdo menerbitkan karikatur Nabi Muhammad, sebanyak 12 orang tewas dalam serangan teror. Mereka termasuk jurnalis dan pegawai yang membuat karikatur. Chambard menilai orang-orang juga harus melihat melalui perspektif Prancis. Kendati demikian, tidak ada yang menentang Islam.

"Semua orang tahu di Prancis bahwa orang-orang yang mengaku membunuh atas nama Islam tidak mewakili Islam," ujarnya.

Dia pun menyinggung tentang Charlie Hebdo. Chambard menjelaskan bahwa Charlie Hebdo memang kerap menerbitkan sesuatu yang sangat provokatif, tidak hanya terkait Islam, tapi juga Kristen, Protestan, Yahudi, termasuk pemerintah Prancis sendiri. "Ini memang surat kabar provokatif yang hanya dibaca oleh beberapa ribu orang," katanya.

Oleh sebab itu, dia menilai Charlie Hebdo adalah surat kabar kecil. "Charlie Hebdo bukan surat kabar besar yang dibaca orang-orang setiap pekan di Prancis," ujar Chambard.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement