Selasa 10 Nov 2020 16:10 WIB

BCA Manfaatkan SBN sebagai Alternatif Penempatan Dana Bank

Saat investor asing masuk ke SBN, harga berfluktuasi naik dan akan memberikan untung.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
PT Bank Central Asia Tbk memanfaatkan penempatan dana bank ke surat berharga sebagai solusi atas melimpahnya likuiditas di tengah permintaan kredit yang rendah. Tercatat per kuartal tiga 2020, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) naik 14,3 persen menjadi Rp 760,678 triliun dan penyaluran kredit turun 0,6 persen menjadi Rp 581,851 triliun.
Foto: Republika/Prayogi
PT Bank Central Asia Tbk memanfaatkan penempatan dana bank ke surat berharga sebagai solusi atas melimpahnya likuiditas di tengah permintaan kredit yang rendah. Tercatat per kuartal tiga 2020, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) naik 14,3 persen menjadi Rp 760,678 triliun dan penyaluran kredit turun 0,6 persen menjadi Rp 581,851 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Central Asia Tbk memanfaatkan penempatan dana bank ke surat berharga sebagai solusi atas melimpahnya likuiditas di tengah permintaan kredit yang rendah. Tercatat per kuartal tiga 2020, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) naik 14,3 persen menjadi Rp 760,678 triliun dan penyaluran kredit turun 0,6 persen menjadi Rp 581,851 triliun.

Presiden Direktur Bank Central Asia Jahja Setiaatmadja mengatakan penempatan dana bank ke surat berharga negara (SBN) cukup menguntungkan karena harga yang berfluktuasi mengikuti pasar. “Ketika banyak investor asing masuk ke SBN, harga bisa berfluktuasi naik dan akan memberikan keuntungan. SBN pun menjadi alternatif bagi BCA selama belum bisa menyalurkan kredit secara jor-joran,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (10/11).

Menurutnya melalui penempatan dana bank ke SBN mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Adapun optimisme itu akan diikuti peningkatan layanan digitalisasi yang menjawab kebutuhan nasabah.

"Digitalisasi teknologi tetap merupakan core yang harus terus dikembangkan, karena ke depan keadaaan bisa terus berubah dan yang penting bagaimana mengedukasi yang gaptek (gagap teknologi) dan mau mencoba dan berikan pemahaman baik, sehingga terbiasa dengan teknologi," ucapnya.

Jahja mengakui masa pandemi membuat perusahaan kesulitan mendorong pertumbuhan kredit. Hal ini mengingat penyaluran kredit menjadi usaha bank yang paling parah terdampak akibat pandemi.

“Sejumlah sektor mengalami pertumbuhan kredit minus karena tingginya nilai pelunasan daripada penyaluran baru,” ucapnya.

Jahja mencontohkan kredit sektor korporasi per September 2020 senilai Rp 45 triliun, tetapi pengembalian cicilannya mencapai Rp 30 triliun. Artinya, secara nett kredit korporasi hanya tumbuh Rp15 triliun.

Begitu juga dengan kredit pemilikan rumah (KPR) yang normalnya disalurkan Rp 2,5 triliun per bulan. Namun, selama Covid-19, penyalurannya menurun menjadi Rp 1 triliun per bulan. Nilai pengembalian kredit KPR pun lebih besar lagi yakni Rp 1,8 triliun, sehingga membuat pertumbuhan kredit minus Rp 800 miliar.

Dari sektor otomotif, lanjutnya, normalnya penyaluran kredit per bulan Rp 2,5 triliun, nilai kredit baru pada April 2020 hanya Rp 90 miliar, sedangkan pelunasan yang dibayarkan Rp 2 triliun. 

Meskipun kredit untuk kendaraan bermotor (KKB) sudah mulai naik menjadi Rp 200 miliar pada Mei 2020, tetapi pertumbuhannya tetap saja negatif karena pelunasannya masih lebih besar. Pada Juni 2020 penyaluran KKB sudah menyentuh Rp400 miliar dan mendekati Rp 1 triliun sampai saat ini.

Menurutnya permintaan kredit rendah salah satunya disebabkan oleh kelompok menengah ke atas yang menahan belanja. Sebaliknya, aktivitas belanja kelas menengah ke bawah masih stagnan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement