Selasa 10 Nov 2020 17:35 WIB

BC Center: Fundamental Ekonomi Indonesia Rapuh

Pemerintah sulit menyusun ulang APBN 2020 dan 2021 akibat dampak pandemi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) tiba disaksikan Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa (kiri) dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/9/2020). Badan Anggaran DPR menyetujui RUU APBN 2021 yang telah dibahas oleh Panitia Kerja untuk dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II dalam Rapat Paripurna pada Selasa 29 September mendatang.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) tiba disaksikan Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa (kiri) dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/9/2020). Badan Anggaran DPR menyetujui RUU APBN 2021 yang telah dibahas oleh Panitia Kerja untuk dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II dalam Rapat Paripurna pada Selasa 29 September mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset dan kajian independen Brain Society (BS) Center memproyeksikan ekonomi Indonesia pada tahun depan dapat tumbuh pada level 2,41 persen. Namun, dalam mengejar tren pemulihan ekonomi, ada sejumlah catatan yang perlu tiperhatikan.

Ketua Dewan Pakar BS Center Didin Damanhuri memberikan catatan kepada pemerintah mengenai fundamental ekonomi. Menurutnya, narasi fundamental ekonomi kuat yang selama ini digaungkan pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak sejalan dengan realita.

Baca Juga

Faktanya, Didin menyebutkan, pemerintah sangat sulit dalam menyusun ulang APBN 2020 dan 2021 akibat dampak pandemi dan kebutuhan pemulihan ekonomi. Bahkan, penyusunan APBN yang sehat belum tergambarkan sampai 2024.

Bersamaan dengan itu, kondisi utang pemerintah juga sudah memburuk sebelum pandemi. “Sehingga, lebih tepatnya, fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya masih dalam kondisi rapuh,” ucap Didin, Selasa (10/11).

Hal tersebut tergambar dalam posisi utang pemerintah yang secara nominal bertambah dengan jumlah besar. Salah satu indikatornya terlihat dari rasio debt service (DSR) terhadap penerimaan yang pada tahun ini diproyeksikan mencapai 45 persen. Padahal, menurut Didin, batas atas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) hanya sebesar 35 persen.

Level tahun ini memang lebih rendah dari batas atas dari International Debt Relief (IDR) yang sebesar 60 persen, namun juga telah melampaui yang direkomendasikan IDR sebesar 28 persen.

"Bagaimanapun, tren naiknya rasio ini mengindikasikan peningkatan penerimaan negara tidak sebesar peningkatan pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya," kata Didin.

Untuk mengantisipasi ini, Didin menganjurkan pemerintah menggali berbagai sumber pembiayaan alternatif. Langkah ini dapat dimulai dari perbaikan regulasi Undang-Undang No 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Didin menilai, perbaikan regulasi ini mendesak untuk segera dilakukan karena rezim devisa bebas masih memberi celah bagi penduduk Indonesia menyimpan uang hasil ekspor ke luar negeri. Sedangkan, jika pemerintah mau mengeluarkan Perpu merevisi aturan UU Lalu Lintas Devisa, maa potensi dana di luar negeri yang dapat dimanfaatkan mencapai 150 miliar dolar AS.

Selain itu, Devisa Hasil Ekspor atau DHE sebaiknya diwajibkan seluruhnya masuk ke dalam sistem perbankan nasional. "Selain untuk menambah likuiditas dan amunisi penyaluran kredit ke masyarakat DHE juga berperan dalam penggalian sumber-sumber penerimaan Negara yang lebih optimal," ucap Didin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement