Ahad 15 Nov 2020 11:37 WIB

Melawan Ekstremitas: Jangan Jadi Setan yang Membisu

Ekstremitas banyak lahir dari kebodohan dan ketidak hati-hatian.

Bom di hotel JW Marriot dan hotel The Ritz Carlton
Foto: rumgapres
Bom di hotel JW Marriot dan hotel The Ritz Carlton

Oleh : Esthi Maharani*

REPUBLIKA.CO.ID, Sejumlah serangan yang terjadi di beberapa negara menjadikan Islam sebagai kambing hitam. Hal ini pun mendapatkan respons dari negara-negara Islam serta ulama-ulama besar. Salah satunya Imam besar yang juga ulama paling senior di Al-Azhar Sheikh Ahmed Al-Tayyeb, yang meminta agar setiap orang berhenti menggambarkan terorisme sebagai Islam.

"Setiap orang harus segera berhenti menggunakan deskripsi itu (terorisme sebagai Islam) karena itu menyakiti perasaan Muslim di seluruh dunia, dan itu adalah deskripsi yang bertentangan dengan kebenaran yang diketahui semua orang," jelasnya dilansir dari Arab News, Ahad (8/11).

Wakil Presiden Ma'ruf Amin pun tak ketinggalan untuk merespon hal terebut. Ia mengajak umat Islam untuk melawan pandangan dunia barat yang menggeneralisasi Islam dengan negatif. Ia mengatakan cara melawan pandangan negatif ini adalah dengan memperkenalkan ajaran Islam sesungguhnya yang rahmatan lil alamin. Menurutnya, sumber utama kebencian dunia Barat terhadap Islam adalah ketidaktahuan atau ketidakpahaman terhadap Islam.

Cara pandang yang selalu mengeneralisasi dan negatif, menurut Ma'ruf, harus dilawan. Namun disaat yang sama umat juga perlu introspeksi.

Yang perlu digarisbawahi perlawanan tersebut harus diarahkan pada ekstremisme yang berkembang di belahan dunia. Apa pun definisi dan sebab ekstremitas, para ilmuan apalagi moralis dan agamawan sepakat, bahwa ia adalah sesuatu yang buruk bahkan bisa jadi pelakunya dinilai mengidap penyakit. Ekstremitas dapat muncul dalam berbagai bentuk. Ia terdeteksi dengan jelas dalam tiga bentuk.

Pertama, ucapan yang kasar seperti makin yang berlebihan, kebohongan, dan penyebaran isu negatif atau bahkan pujian yang berlebihan. Kedua, kelakuan atau tindakan, baik dalam bentuk ibadah yang dilebihkan dari apa yang diajarkan agama maupun bukan ibadah. Ketiga, hati dan perasaan, baik dalam bentuk kepercayaan maupun emosi dan cinta.

Seperti dikutip dari buku Prof Quraish Shihab berjudul Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama disebutkan ekstremisme adalah lawan dari wasathiyyah. Melaksanakan wasathiyyah mengantar kita terhindar dari ekstremisme, demikian juga sebaliknya; melakukan yang ekstrem manjauhkan pelakunya dari wasathiyyah.

Ekstremitas merebak bila syarat terwujudnya wasathiyyah diabaikan. Ia lahir dari kebodohan terhadap ajaran agama dan ketidakhati-hatian membaca situasi yang disertai fanatisme membuta, atau emosi/semangat berlebihan sehingga yang bersangkutan—individu atau kelompok—bersikap dan bertindak melampaui batas.

Yang ekstrem biasanya menolak berdiskusi; kalaupun bersedia, kesediaannya hanya agar pendapatnya didengarkan sedang dia sendiri menutup diri dari mempertimbangkan bahkan mendengar pandangan pihak lain. Sedangkan penganut wasathiyyah selalu terbuka bukan saja untuk berdiskusi, melainkan juga terbuka mengoreksi pendapatnya dan menerima pendapat selainnya.

Yang ekstrem menyatakan dengan ucapan atau sikapnya bahwa dia yang pasti benar dan yang lain pasti salah, dan bahwa pandangannya bersifat final lagi sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Sedangkan penganut wasathiyyah bersemboyan “pendapat kami benar tapi mungkin salah, dan pendapat Anda salah tapi mungkin benar”.

Yang ekstrem menganggap segala persoalan telah selesai; atau kalau belum maka harus merujuk ke sumber yang digunakannya. Sedang penganut wasathiyyah berpendapat bahwa banyak persoalan yang masih harus dicari solusinya dengan merujuk kepada Alquran dan Sunnah, serta kaidah-kaidah yang disepakati dan dengan metode ulama masa lalu yang masih relevan.

Yang ekstrem menolak kehadiran apa pun dan siapa pun yang berbeda dengannya. Penolakannya itu dapat berlanjut dengan upaya menyingkirkan yang berbeda dan pada gilirannya ia mengafirkan dan menampilkan kekerasan. Penganut wasathiyyah tidak mengafirkan siapa pun yang mengucapkan dua kalimat syahadat, walau bergelimang dosa besar. Penganut wasathiyyah mengakui keragaman dengan menghormati pendapat pihak lain serta siap hidup berdampingan secara damai dengan siapa pun.

Yang ekstrem boleh jadi banyak ibadahnya, tekun membaca Alquran serta rajin sholat malam dan puasa sunnah, tetapi dia sering berburuk sangka dan tidak menampilkan akhlak Islam yang penuh toleransi. Penganut wasathiyyah bisa jadi tidak banyak ibadahnya, tetapi luhur akhlaknya dan selalu tampil dengan ramah dan santun. Bisa jadi yang banyak ibadahnya itu tulus dalam sikapnya tetapi pengetahuannya terbatas, ditambah semangatnya yang menggebu untuk menjadikan orang lain beragama sesuai dengan caranya, maka ia mengecam orang lain yang melakukan kegiatan keagamaan apa adanya, padahal yang dilakukan orang lain itu masih dalam batas yang diperkenankan agama. Bisa juga dosa yang masih dalam tahap dosa kecil menjadikan seorang ekstrem mengecam begitu keras bahkan mengancamnya dengan neraka.

Untuk mencegah ekstremisme diperlukan diagnosis sebab-sebabnya dan untuk mengobatinya diperlukan penjelasan yang bijaksana tentang ajaran Islam, apalagi mengisi benak seseorang yang sebelumnya telah terisi dengan ide-ide yang keliru, jauh lebih sulit daripada mengisi benak yang masih kosong. Kesulitan akan bertambah jika menghadapi seseorang yang pembawaannya memang tertutup dan intoleran.

Yang pasti, berdasarkan pengalaman banyak pihak, menghadapi sikap ghuluw yakni sesuatu yang melampaui batas kewajaran atau wasathiyyah (pertengahan/moderasi) dengan bersikap keras tidak banyak manfaatnya. Ia hendaknya dihadapi dengan menjelaskan ajaran Islam yang penuh kasih dan itu disampaikan dengan sikap yang menimbulkan simpati.

Untuk itu diperlukan kerja sama semua pihak sambil memberi penjelasan sejak dini kepada generasi muda tidak saja melalui pendidikan—dalam berbagai materi ilmu di lembaga pendidikan—tetapi juga keteladanan dalam rumah tangga dan masyarakat. Di samping itu, perlu penegakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat sambil mengundang para ulama dan cendekiawan untuk bersuara lebih nyaring menghadapi ekstremitas, karena yang diam dapat menjadi “setan yang membisu”.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement