Kamis 19 Nov 2020 01:59 WIB

Muslim Pro Bantah Menjual Data Pengguna ke Militer AS

Muslim Pro Bantah Menjual Data Pengguna Aplikasinya ke Militer Amerika Serikat

Red:

Pengembang aplikasi Muslim Pro telah membantah laporan yang menyebutkan data personal pengguna aplikasinya telah dijual ke militer Amerika Serikat.

Laporan penyelidikan sebuah majalan online bernama Motherboard menyebutkan militer Amerika Serikat telah mendapatkan data lokasi dari para pengguna sejumlah aplikasi, termasuk Muslim Pro.

Data lokasi adalah satu dari data pribadi yang dibeli oleh Komando Operasi Khusus militer Amerika Serikat dari aplikasi ponsel di seluruh dunia berdasarkan laporan yang dimuat pada hari Selasa (17/11).

Disebutkan aplikasi ponsel paling populer di antaranya adalah Muslim Pro yang digunakan oleh lebih 98 juta Muslim di dunia dan sebuah aplikasi kencan khusus Muslim.

Laporan tersebut menyoroti industri jual beli data lokasi dan militer AS yang membeli akses untuk mendapatkan informasi pribadi, setelah sebelumnya pihak militer AS diketahui telah menggunakan data lokasi lain untuk menargetkan serangan drone.

Amerika Serikat telah banyak melancarkan serangan ke negara-negara yang kebanyakan penduduknya adalah Muslim, seperti Pakistan, Afghanistan, Irak dan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah, dengan alasan membasmi kelompok teroris.

Serangan-serangan ini dilaporkan telah menyebabkan ratusan ribu warga sipil tewas.

Tapi dari penyelidikannya, Motherboard menyatakan tidak mengetahui di mana jenis data lokasi dari aplikasi ini telah digunakan militer AS.

Militer AS telah mengonfirmasi laporan soal pembelian data lokasi tersebut.

 

"Akses kita ke perangkat lunak digunakan untuk mendukung persyaratan misi Pasukan Operasi Khusus di luar negeri. Kami secara ketat mematuhi prosedur dan kebijakan yang ditetapkan untuk melindungi privasi, kebebasan sipil, hak konstitusional, dan hukum warga negara Amerika Serikat," demikian pernyataan Tim Hawkins, juru bicara Komando Operasi Khusus militer AS

Data ini kemudian dijual ke perusahaan yang memperjualbelikan data lokasi, seperti X-Mode yang diketahui telah melacak 25 juta ponsel dan perangkat lainnya di Amerika Serikat setiap bulannya, serta 40 juta lainnya di kawasan Eropa, Amerika Latin, dan kawasan Asia Pasifik.

X-Mode kemudian menjualnya kepada salah satu kontraktor yang membutuhkannya, salah satunya adalah militer Amerika Serikat.

Pengembang aplikasi Muslim Pro telah menyebut laporan tersebut "keliru dan tidak benar".

Dalam pernyataannya Muslim Pro juga mengatakan telah meluncurkan penyelidikan internal dan meninjau kembali kebijakan pengelolaan data untuk memastikan data pengguna aplikasinya sesuai dengan syarat yang tercantum di aplikasi mereka.

"Terlepas dari itu, kami telah memutuskan untuk menghentikan hubungan kami dengan semua partner data, termasuk X-Mode, yang akan segera diberlakukan."

"Kami mohon maaf kepada semua pengguna kami atas kekhawatiran akibat laporan ini dan kami dapat mengonfirmasi bahwa data Anda aman bersama kami."

 

Muslim Pro menyebutkan pihaknya telah "terbuka dan transparan" soal data personal yang mereka simpan.

"Setiap fitur dari aplikasi Muslim Pro tersedia tanpa mendaftar atau masuk. Ini berkontribusi pada anonimitas data yang kami kumpulkan dan kami proses."

Namun sejumlah pengguna aplikasi Muslim Pro telah menyampaikan kekecewaannya.

Bahkan di jejaring sosial seperti Twitter, mereka dengan terang-terangan menyatakan telah menghapus aplikasi Muslim Pro karena kekhawatiran soal data pribadi mereka.

Lewat hashtag #MuslimPro mereka mengunggah foto 'screenshot' yang menunjukkan penghapusan aplikasi dari ponsel mereka.

Di Play Store milik Android dan App Store dari Apple, sejumlah orang juga menulis 'review' yang buruk dan memperingatkan orang lain untuk tidak mengunggah aplikasi Muslim Pro.

Artikel ini diproduksi oleh Erwin Renaldi

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan informasi lainnya di ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement