Jumat 20 Nov 2020 06:09 WIB

Tito Copot Kepala Daerah, Bima: Tidak Semudah Itu!

Menurut Bima Arya, fenomena Habib Rizieq itu harus disikapi hati-hati.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Erik Purnama Putra
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto memberikan keterangan pers terkait langkah penanganan penyebaran Covid-19 di Kota Bogor, Jumat, (19/6).
Foto: Republika/Nugroho Habibi
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto memberikan keterangan pers terkait langkah penanganan penyebaran Covid-19 di Kota Bogor, Jumat, (19/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto angkat bicara terkait ramainya isu ancaman pencopotan jabatan para kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan dalam instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang diteken Jenderal (Purn) Tito Karnavian.

Menurut Bima, pencopotan kepala daerah tidak bisa dilakukan begitu saja. "Jadi saya liat itikadnya baik Pak Menteri, tetapi harus hati-hati. Tidak bisa semudah itu!" kata Bima saat ditemui di Kantor Wali Kota Bogor, Kamis (19/11).

Dalam Instruksi Nomor 6 Tahun 2020 yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), terdapat Pasal 78 yang bisa membuat seorang kepala daerah dicopot dari jabatannya. Bima mengatakan, harus ada mekanisme pembuktian untuk melakukan hal itu.

“Itu prosesnya cukup panjang dan harus ada pembuktian. Kenapa? Agar tidak ada politisasi. Jadi tidak seperti di zaman dulu kepala daerah yang ditunjuk langsung bisa dicopot, sekarang nggak,” ucap politikus PAN tersebut.

Artinya, Bima melihat kepala daerah bertugas untuk melindungi dan menjamin ketertiban seluruh warga. Namun, harus dibedakan ketika dianggap melanggar protokol kesehatan itu. Alasannya kemudian tidak bisa disimpulkan begitu saja.

"Karena kalau kinerja kepala daerah itu diadilinya ketika pemilu. Ketika itu kinerja dinilai, ada sanksi sosial kinerja. Tapi kalau ada perbuatan kriminal, ada undang-undang yang dilanggar dan itu boleh diberhentikan. Nah itulah yang harus dibuktikan. Jadi tidak begitu aja (dicopot). Tiba-tiba karena ada kerumunan dibiarkan, diberhentikan, gak bisa," tutur Bima.

Dalam hal ini, menurut Bima, kunci penegakan protokol kesehatan adalah koordinasi dan sinergi. Pasalnya, kepala daerah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Terutama jika jumlah massa yang berkumpul di suatu tempat sangat besar, melebihi jumlah petugas satuan pengamanan.

Dari sisi penerapan protokol kesehatan, dia menilai para kepala daerah sudah memiliki koordinasi yang baik. Hanya saja, situasinya berbeda karena dalam kejadian ini terdapat unsur politik.

"Ya ini kan fenomena Habib Rizieq ini ada politik di situ, sudah pasti. Bukan hanya sekadar protokol kesehatan, itu ada politik di situ. Nah inilah yang membuatnya menjadi berbeda dan kita harus hati-hati sikapi itu," ujar Bima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement