Senin 23 Nov 2020 11:09 WIB

PHRI Harap UU Ciptaker Mudahkan Perizinan & Hilangkan Pungli

Poin perizinan dalam UU CIptaker disebut memberikan kepastian kepada investor.

Perhimpunan Hotel dan Resto Indonesia (PHRI) berharap proses perizinan lebih mudah lewat UU Ciptaker. Foto Ilustrasi wisata.
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Perhimpunan Hotel dan Resto Indonesia (PHRI) berharap proses perizinan lebih mudah lewat UU Ciptaker. Foto Ilustrasi wisata.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Resto Indonesia (PHRI) Kota Tangerang Selatan, Andre Sumanegara menyebut soal perizinan usaha dalam Undang-Undang (UU) no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi poin penting dan beri kepastian bagi investor dalam memulai usaha. UU Ciptaker diharapkan bisa menghilangkan pungli. “Penerapan ini (UU Cipta Kerja) dalam perizinan ini jadi poin penting untuk kepastian bagi investor dalam berusaha,” kata Andre dalam diskusi daring, Kamis (19/11) lalu.

Alasannya, kata Andre dalam diskusi daring bertajuk Outlook Industri Pariwisata dalam UU Cipta Kerja yang digelar GoodMoney.id itu, berdasarkan pengalamannya proses perizinan penuh ketidakpastian dan sarat pungli memang menyusahkan pelaku usaha. “Di awal transisi pemekaran Tangsel (Tengerang Selatan) dari Kabupaten Tangerang, ini seperti hutan rimba. Di pintu perizinan A, dihargai sekian. Masuk ke pintu perizinan berikutnya, harganya beda lagi,” ungkap Andre mencontohkan mengapa kepastian perizinan itu penting.

Saat itu, cerita Andre, terdapat oknum-oknum dari dinas tertentu yang memanfaatkan situasi ketika itu. Namun pada 2011, PHRI melakukan upaya komunikasi dengan wali kota dan dinas-dinas terkait untuk melakukan pembenahan terkait perizinan usaha itu.

Problem perizinan lain di wilayahnya, sambung Andre, adalah soal kepastian antara Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) dan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang didapat melalui One Single Submission (OSS). Ia berkata, banyak perusahaan perhotelan dan restoran yang terdaftar berdasarkan NIB tidak mendapatkan dana hibah pariwisata untuk restoran dan hotel yang digulirkan pemerintah pusat beberapa waktu lalu.

“Baru 270 dari 1.100 hotel dan restoran yang tervalidasi untuk menerima dana hibah. Banyak yang tidak tervalidasi karena TDUP-nya terdaftar di Pusat,” kata Andre.

Sebagian mereka, lanjut Andre, adalah restoran-restoran baru yang tidak memiliki TDUP tapi memiliki NIB karena izinnya melalui OSS. “Sementara NIB itu ditolak dan tidak tervalidasi untuk menerima hibah,” kata Andre.

Berkaca dari itu, Andre berharap implementasi UU Cipta Kerja bisa mengatasi benturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait administrasi perizinan usaha. “Saya positif dengan UU Cipta Kerja. Cuma perlu diperhatikan sering terjadi benturan antara (pemerintah) pusat dengan daerah terutama soal perizinan. TDUP saja dengan NIB, yang satu ditolak dan yang satu tidak,” ungkap Andre.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement